Di tengah meningkatnya prevalensi perokok pemula berusia 10-13 tahun di Indonesia, produsen rokok elektrik asal Amerika Serikat, Juul Labs, berekspansi. Mereka menyasar orang dewasa yang ingin mencari produk alternatif selain rokok konvensional.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah meningkatnya prevalensi perokok pemula berusia 10-13 tahun di Indonesia, produsen rokok elektrik asal Amerika Serikat, Juul Labs, berekspansi. Mereka menyasar orang dewasa yang ingin mencari produk alternatif selain rokok konvensional.
Pendiri dan Chief Product Officer Juul Labs, James Monsees, di Jakarta, Rabu (10/7/2019), mengatakan, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada sekitar 67 juta perokok di Indonesia atau 39 persen dari jumlah penduduk dewasa. Dari 67 juta perokok tersebut, sebanyak 48,8 persen berencana berhenti merokok.
”Saya dulu perokok. Bersama rekan saya, Adam Bowen, kami memikirkan dampak rokok terhadap kesehatan dan kehidupan sosial. Namun, kami kesulitan menemukan alternatif,” kata Monsees dalam acara peluncuran rokok elektrik Juul Labs.
Monsees menyebutkan, Juul dapat meningkatkan kualitas hidup perokok karena nikotin cair yang digunakan tidak mengandung tar. Formulasi nikotin cair diklaim lebih sederhana dibandingkan dengan rokok konvensional.
Country General Manager Juul Labs Indonesia Kent Sarosa berjanji, pemasaran akan dilakukan dengan pengawasan ketat. Produk hanya bisa dipasarkan bagi perokok dewasa.
”Kami tidak akan melakukan pemasaran di media sosial karena akan mengundang masyarakat di bawah umur. Kami juga akan menjunjung tinggi etika dan memenuhi peraturan yang berlaku,” katanya.
Hingga kini, Juul telah dipasarkan di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bali, Surabaya, Yogyakarta, dan Surabaya. Pemasaran akan segera dilakukan di Pulau Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi merokok pada usia 10-18 tahun mencapai 7,2 persen. Jumlah itu terus meningkat menjadi 8,8 persen (Survei Indikator Kesehatan Nasional 2016) dan 9,1 persen (Riskesdas 2018) yang membuat generasi muda semakin berisiko tinggi mengalami berbagai penyakit di masa depan.
Tidak dianjurkan
Sementara itu, Ketua Umum Komisi Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo melalui keterangan tertulis menyatakan, rokok elektronik termasuk rokok berbahan dasar tembakau dan mengandung nikotin. Rokok elektronik tidak dianjurkan sebagai solusi untuk berhenti merokok. Selain itu, rokok elektronik juga berbahaya bagi kesehatan.
”Para dokter dan pegiat kesehatan bersepakat untuk merekomendasikan larangan peredaran rokok elektrik di Indonesia. Sayangnya, pemerintah tidak juga menyatakan ketegasan terhadap produk yang berpotensi memberi ancaman baru ini,” ucap Prijo.
Saat dihubungi terpisah, pengamat masalah kesehatan masyarakat Hasbullah Thabrany mengatakan, belum ada penjelasan ilmiah tentang pengaruh rokok elektrik terhadap kesehatan manusia. Hal ini masih harus diteliti dalam jangka waktu panjang.
Berkaca dari penelitian, Hasbullah menuturkan, dampak rokok baru diketahui setelah pemakaian dalam jangka waktu panjang. Oleh sebab itu, penelitian yang sama terhadap rokok elektrik harus dikaji dalam jangka waktu panjang.
”Selama ini, kandungan nikotin pada rokok elektrik diklaim sebanyak 5 persen, lebih sedikit dibandingkan rokok biasa. Namun, belum ada literatur yang menunjukkan rokok elektrik bisa menurunkan (risiko) dari rokok biasa,” kata Hasbullah.
Ia menjelaskan, kandungan nikotin pada rokok elektrik terbukti secara ilmiah memiliki efek candu bagi tubuh. Walaupun kandungan nikotin diklaim rendah, potensi konsumen rokok elektrik akan beralih pada rokok dengan kandungan nikotin yang lebih tinggi tetap ada.
”Secara konseptual, memang iya (kandungan) rokok elektrik (lebih ringan dibandingkan rokok konvensional). Namun, secara empiris, belum ada hasil kuat yang menunjukkan bahwa rokok elektrik lebih rendah risikonya dibandingkan rokok biasa,” kata Hasbullah.