Seni Membuat Anak dengan Autis Terlihat Istimewa
“Selamat sore semuanya. Saya dan Abby akan menyanyikan lagu, \'Easy\' dan \'Menghujam Jantungku\',” ujar Arya (24), remaja dengan autis. Tak lama mengalunlah musik dari kibor yang dimainkan Abby disusul suara. Di sela-sela menyanyi, Arya memainkan saksofonnya.
Di sisi kiri tempat Abby dan Arya memainkan musik dan menyanyi, Ruben (19), juga remaja dengan autis, asyik melukis. Ia tak terganggu penampilan mereka. Sambil tersenyum, Ruben terus membuat gambar ikan di kanvas. Sepintas, orang bisa jadi tak menyadari bahwa ketiga anak muda itu penyandang autis.
Kondisi anak dengan autisme kini memang jauh berbeda. Berkat kerja keras mereka dan orangtuanya, sebagian anak dengan autis sudah lebih berdaya, mampu mengembangkan bakat dan kemampuan sesuai minatnya lewat terapi seni atau art therapy.
Maria Novitawati, psikolog yang juga praktisi terapi seni bagi anak berkebutuhan khusus meceritakan, terapi seni sejak lama sudah dikenal di luar negeri tetapi baru dikenal di Indonesia sejak tiga tahun terakhir. Terapi itu manjur untuk menstimulasi otak kiri-kanan dan gerak motorik anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang autis, yang kerap terganggu.
Namun sebenarnya, banyak orangtua anak dengan autis di Indonesia sejak 20 tahun lalu sudah menemukan bahkan menerapkan terapi itu untuk anak mereka agar berdaya.
Abby dan Arya yang bersahabat sejak SD, selain sama-sama sudah menyelesaikan pendidikannya di Politeknik Negeri Jakarta juga bisa mengembangkan kemampuannya dalam bermusik. Abby, alumnus Jurusan Komputer Manajemen Pemasaran, piawai bermain kibor dan saksofon.
Sementara itu, Arya, alumnus Jurusan Seni pada Manajemen Pemasaran, yang bertubuh bongsor pintar bermain kibor, drum saksophone plus menyanyi.
Selain dua pemuda tersebut, ada Ruben (19) yang pintar melukis, Junes yang memiliki suara bagus, dan Anfield (14) yang juga bisa melukis. Ruben yang bercita-cita menjadi pelukis, mulai kuliah di Fakultas Desain Komunikasi Visual Universitas Multimedia Nusantara Tangerang, Banten.
Donny Mardonius, ayah Anfield, membagi pengalamannya melakukan terapi untuk Anfield. Hasilnya anak semata wayangnya yang selain autis juga tuna rungu bisa mengembangkan kemampuannya dalam melukis secara pesat. “Kuncinya orangtua harus memberikan kebebasan bagi anak. Jangan memaksakan ego kita kepada mereka,” ujar Donny dalam diskusi Peranan “Art Therapy” yang digelar Bentara Budaya Jakarta dan Yayasan Autisme Indonesia, Sabtu (6/7/2019) di Jakarta.
Mandiri
Menjadikan anak dengan autis berdaya jelas tidak mudah, tetapi bukan hal yang tidak mungkin. “Pada awalnya saya sempat bingung, bagaimana cara menangani Arya tetapi dengan trial dan error akhirnya menemukan apa yang dia mau,” tutur Indah Prabowo, ibunda Arya.
Indah memilih keluar dari pekerjaannya agar bisa fokus membimbing Arya, Berawal dari pengamatan yang jeli atas Arya, suatu ketika Indah meyakini bahwa anak keduanya itu suka musik. “Arya biasanya bergerak terus, tetapi ketika di dalam mobil saya coba perdengarkan musik eh dia duduk dengan tenang,” lanjut Indah pada Selasa (9/7/2019).
Ia membawa Arya ke tempat kursus vokal di usia enam tahun. “Awalnya perlu perjuangan keras untuk membuat ia mau duduk di tempat kursus. Kadang-kadang saat guru mengajar ia malah tiduran. Saya sempat hampir putus asa,” kata Indah.
Toh usahanya tak sia-sia. Lama-lama, Arya bisa menikmati kursus vokal yang membuat dia mulai lancar berbicara. Ternyata suaranya bagus. Tak cukup memberi kursus vokal, Indah juga memberi kursus alat musik kepada Arya yang suka main drum, kibor dan saksofon.
Semula anak muda yang punya suara nge-bas dan cenderung bariton itu belajar main piano. “Walau saat diajar suka tiduran, tetapi dengan hanya belajar piano sekali-dua kali ia sudah bisa memainkan sebuah lagu. Sementara kakaknya belajar main piano sebulan, belum bisa memainkan satu lagu he he,” tambah Indah.
Meski autis, Arya dan Abby punya kelebihan pendengaran sangat tajam. Itu sebabnya mereka mudah mempelajari sesuatu berkait dengan musik.
“Aku suka menyanyi, main saksofon. Cita-citaku menjadi penyiar,” kata Arya dengan percaya diri. Untuk mencapai cita-citanya ia kerap berlatih di rumah atau belajar menjadi pembawa acara dalam sebuah acara.
Kedekatan dan amatan yang cermat pula yang membuat Donny menemukan kesukaan dan minat Anfield. “Awalnya saya coba beri dia bermacam mainan, ada mobil-mobilan, pazel dan alat untuk menggambar. Eh Anfield pilih itu. Ia suka mencoret-coret dan membuat garis. Sejak itu saya paham, dia senang melukis dan hal yang visual,” kata Donny.
Anfield yang sekarang belajar di sebuah SMP Sekolah Luar Biasa di Jakarta hanya kursus melukis selama enam bulan, setelah itu ia berkembang sendiri. “Yang penting jangan orangtua memaksakan kehendak kepada anak. Dulu saya pernah ingin dia menjadi pemain bola, karena waktu itu saya belum tahu dia tuna rungu,” ujar penggemar berat klub bola Liverpool ini.
Setelah melihat kegigihan Anfield mempertahankan minatnya, ia akhirnya mengikuti keinginan sang anak yang sudah membuat 1.500 lukisan.
Melihat perkembangan para remaja dengan autis itu, Maria merasa gembira sekali. “Bagaimanapun anak-anak itu perlu mendapat kesempatan mengembangkan diri dan belajar mandiri. Itu hal penting yang harus diajarkan orangtua kepada anak. Tak mungkin selamanya bergantung ke orang lain,” ujar Maria.
Ia mencontohkan apa yang dilakukan Ruben yang mengabadikan lukisannya menjadi kalender, celemek dan benda lain sebagai hal penting. Apalagi Ruben juga belajar melayani pembeli karyanya. “Langkah Ruben itu sudah sangat maju. Saya berharap kelak ia bisa mandiri dan punya penghasilan dari pekerjaan yang ia sukai,” harapnya.
Begitulah di balik kekurangan seseorang, terdapat keistimewaannya sendiri.