Warga yang terdampak kekeringan di Nusa Tenggara Barat bertambah menyusul meluasnya daerah yang mengalami hari tanpa hujan.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Warga yang terdampak kekeringan di Nusa Tenggara Barat bertambah menyusul meluasnya daerah yang mengalami hari tanpa hujan. Pemerintah daerah pun mulai menyalurkan bantuan air bersih kepada warga karena sumur dan embung juga menyusut debitnya.
”Laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kabupaten/kota, hanya Kota Mataram yang tidak kesulitan air bersih karena warganya pelanggan PDAM. Sembilan kabupaten/kota lainnya sudah disuplai air bersih,” kata Kepala Pelaksana BPBD NTB Ahsanul Khalik di Mataram, Rabu (10/7/2019).
Menurut Ahsanul, data akhir Juni lalu di sembilan kabupaten/kota, tercatat 549.011 jiwa (137.959 keluarga) di NTB terdampak kekeringan yang tersebar di 68 kecamatan dan 298 desa. Namun, per 4 Juli, jumlah warga yang terdampak kekeringan bertambah menjadi 674.017 jiwa (185.708 keluarga) di 69 kecamatan dan 302 desa. Jumlah warga terdampak itu diperkirakan masih bertambah karena puncak musim kemarau pada Juli-September.
Daerah yang terdampak antara lain Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, Lombok Tengah, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima. Di Desa Tanak Awu, Lombok Tengah, saat ini kondisi tanah sawah mengering dan retak-retak. Saluran irigasi juga mengering. Oleh karena itu, BPBD Lombok Tengah menyuplai air bersih untuk warga.
Kepala Pelaksana BPBD Lombok Tengah Muhammad mengatakan, sejak 6 Juli pihaknya mulai menyuplai air bersih untuk rumah tangga di dusun-dusun yang terdampak kekeringan. Untuk tahap awal disiapkan 218 tangki (setiap tangki berisi 5.000 liter) bekerja sama dengan PDAM Praya Lombok Tengah.
”Hasil koordinasi kami, Dinas Sosial, Palang Merah Indonesia, Dinas Perumahan dan Permukiman Lombok Tengah, dan Polres Lombok Tengah siap membantu penyaluran air bersih,” ujar Muhammad.
Mulyadi, petani di Dusun Pae, Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, mengatakan, di satu sisi, kekeringan ini memberi harapan akan hasil tembakau yang baik pada masa panen akhir Juli.
Namun, di sisi lain, petani harus membeli air dari para pemilik mobil tangki untuk mengairi sekitar 1 hektar lahan. Selain itu, warga juga harus merogoh kocek untuk membeli air bersih untuk keperluan rumah tangga, seperti mandi, memasak, dan mencuci.
Kami pun harus irit-irit belanja guna menyisihkan uang untuk membeli air bersih.
Mulyadi mengatakan, warga tidak bisa lagi mengharapkan air sumur yang kini elevasinya terus menyurut. ”Rata-rata ketinggian air sumur kini tinggal 1 meter dari kedalaman sumur 10 meter-12 meter,” ujarnya.
Warga membeli air bersih seharga Rp 150.000-Rp 250.000 per tangki (5.000 liter), atau Rp 5.000-Rp 7.000 per jeriken (kapasitas 25-40 liter). ”Kesulitan air bersih tahun ini saya perkirakan sampai Agustus-September. Kami pun harus irit-irit belanja guna menyisihkan uang untuk membeli air bersih,” kata Mulyadi.
Prakirawan BMKG Stasiun Klimatologi Lombok Barat, Restu Patria Megantara, mengatakan, seluruh wilayah NTB masuk musim kemarau pada April-Mei dengan puncaknya pada periode Juli-Agustus. Dari kondisi dinamika atmosfer, diperkirakan NTB mengalami musim kemarau kering sehingga perlu diperhatikan ketersediaan air irigasi dan air bersih di daerah rawan kekeringan.
Pada 30 Juni, sejumlah daerah sudah mengalami hari tanpa hujan dengan kategori kekeringan ekstrem (lebih dari 60 hari). Daerah itu antara lain di Lombok Timur (Desa Labuhan Pandan, Desa Sakra Barat), Sumbawa Barat (Kecamatan Jereweh), Sumbawa (Desa Alas Barat, Desa Lape), Bima (Desa Sape, Lambu, Palibelo Teke, dan Desa Parado), serta Kota Bima (Kota Raba).