Google: Kami Menanti Keputusan Perpajakan Internasional
Google menegaskan dukungannya terhadap gerakan global untuk menciptakan kerangka kerja baru terkait pajak perusahaan teknologi multinasional. Namun, Google menginginkan lingkungan perpajakan yang wajar.
JAKARTA, KOMPAS — Google menegaskan dukungannya terhadap gerakan global untuk menciptakan kerangka kerja baru terkait pajak perusahaan teknologi multinasional. Namun, Google menginginkan lingkungan perpajakan yang wajar.
”Pajak Penghasilan merupakan salah satu sarana penting yang digunakan perusahaan untuk berkontribusi kepada negara dan masyarakat lokal,” ujar Head of Corporate Communications Google Indonesia Jason Tedjasukmana, Rabu (10/7/2019), di Jakarta. Pernyataan ini sekaligus mengonfirmasi sikap Google Inc tentang pertemuan pejabat keuangan negara-negara kelompok G-20 saat simposium pajak di Jepang, Sabtu (8/6/2019).
Dalam pertemuan itu, mereka sepakat merumuskan aturan pemungutan pajak perusahaan teknologi besar lintas negara. Kesepakatan muncul karena sejumlah perusahaan, seperti Facebook dan Google, dinilai berusaha menurunkan tagihan pajaknya dengan mencatatkan laba di negara-negara berpajak rendah meski konsumen terbesar mereka bukan dari wilayah itu.
Walaupun banyak pihak menyampaikan kekhawatiran itu, Google mengklaim nilai pajak global Google secara keseluruhan telah lebih dari 23 persen selama 10 tahun terakhir. Nilai ini sesuai rata-rata tarif pajak di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 23,7 persen.
Sebagian besar pajak itu terutang di Amerika Serikat, negara bisnis asal, sekaligus negara tempat sebagian besar produk atau layanan Google dikembangkan. Sisanya, kata Jason, Google membayarkan ke sekitar 50 negara di mana Google memiliki kantor untuk menjual produk atau layanan.
”Selain kami, ada banyak perusahaan lain yang juga membayar sebagian besar pajak penghasilannya di negara asalnya. Alokasi ini sesuai dengan peraturan lama yang mengatur cara pembagian keuntungan perusahaan ke berbagai negara. Perusahaan Amerika membayar sebagian besar pajak perusahaannya di Amerika Serikat, sama seperti perusahaan Jerman, Inggris, Perancis, dan Jepang yang membayar sebagian besar pajaknya di negara asalnya,” katanya.
Selama lebih dari satu abad terakhir, dunia internasional telah mengembangkan berbagai perjanjian untuk mengenakan pajak secara terkoordinasi pada perusahaan asing. Kerangka kerja ini selalu memberikan keuntungan lebih bagi negara yang menjadi tempat produksi layanan dan produk, bukan negara yang menjadi tempat konsumsi layanan dan produk. Namun, saat ini sistem tersebut berusaha diperbarui guna memastikan distribusi pajak penghasilan yang lebih baik.
Amerika Serikat, Jerman, dan negara-negara lain telah mengajukan banyak proposal baru untuk memodernisasi aturan pajak agar pajak yang dibayarkan pada negara di mana produk dan layanan dikonsumsi jumlahnya lebih besar.
Baca juga: Indonesia Mengejar Pajak Digital
”Kami harap pemerintah dapat mencapai konsensus untuk menciptakan kerangka kerja perpajakan baru yang adil dan memberikan aturan pajak yang lebih jelas bagi perusahaan di seluruh dunia. Pada akhirnya langkah seperti itu justru akan mendorong investasi bisnis yang lebih bijak,” kata Jason.
Walau proses pembahasan pajak kepada perusahaan teknologi secara multilateral berkembang semakin bagus, tetap ada sejumlah negara yang memilih bertindak sendiri dan memberlakukan pajak-pajak baru pada perusahaan asing. Menurut Jason, tanpa perjanjian baru yang komprehensif dan bersifat multilateral, negara bisa saja mengenakan pajak sepihak yang diskriminatif pada perusahaan asing dari berbagai sektor.
Tanpa perjanjian baru yang komprehensif dan bersifat multilateral, negara bisa saja mengenakan pajak sepihak.
”Nyatanya, kami sudah melihat permasalahan seperti ini di sejumlah proposal spesifik yang telah diajukan. Kami sangat mendukung upaya OECD untuk mengakhiri ketidakpastian saat ini dan mengembangkan prinsip-prinsip pajak baru. Kami mengajak pemerintah dan perusahaan untuk saling bekerja bersama guna mempercepat reformasi ini dan membentuk perjanjian yang baru, tahan lama, dan bersifat global,” tuturnya.
Dia mengungkapkan, sebagian besar pendapatan Google berasal dari bisnis periklanan. Tujuan bisnis iklan Google adalah selalu menyajikan iklan yang tepat bagi pengguna yang tepat di waktu yang tepat.
Google memiliki beberapa macam produk, antara lain Google Search, Google Maps, Gmail, Android, Google Play, Chrome, dan Youtube. Jumlah penggunanya mencapai miliaran penduduk dunia. Google merupakan anak perusahaan Alphabet Inc.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya dengan memaksa mereka memiliki badan hukum di Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Badan Usaha Tetap (BUT). Ketentuan ini mewajibkan semua unit usaha asing yang beroperasi di Indonesia mendaftar untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak (NPWP). NPWP mempertegas bentuk usaha tetap sebagai subyek pajak luar negeri. Akan tetapi, peraturan itu dinilai belum efektif karena merujuk aturan perpajakan konvensional.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Poltak Maruli John Liberty Hutagaol di Jakarta, Jumat (5/7/2019), mengatakan, pemajakan atas kegiatan ekonomi digital yang dilakukan perusahaan lintas negara menghadapi tantangan. Sejauh ini belum ada kesepakatan global tentang norma dan standar pajak atas penghasilan dari transaksi ekonomi digital. Oleh karena itu, sembari menunggu adanya konsensus bersama, setiap negara diperbolehkan memungut Pajak Pertambahan Nilai (Kompas, Senin (8/7/2019).
Managing Partner Danny Darussalam Tax Centre (DDTC) Darussalam berpendapat, aktivitas dan kegiatan ekonomi digital bukanlah sesuatu yang mudah diidentifikasi dan diketahui. Tidak mengherankan apabila OECD pada tahun 2017 menyatakan bahwa ekonomi digital sebagai the new shadow economy.
”Apabila kita mempertimbangkan posisi Indonesia sebagai negara dengan pengguna internet dengan pengguna yang besar di berbagai platform digital, potensi penerimaan pajaknya jelas besar,” katanya.
Darussalam menyarankan agar ekonomi digital perlu dipahami tidak hanya berkaitan dengan raksasa digital atau sering disebut GAFA (Google, Apple, Facebook, dan Amazon) yang kerap memanfaatkan celah hukum penghindaran pajak. Kebiasaan mereka seperti itu biasa disebut pula skema base erosion and profit shifting (BEPS). Di luar mereka, dia menekankan, ada juga perusahaan teknologi yang memiliki berbagai model bisnis lain, seperti e-dagang dan teknologi finansial.
Tantangan yang muncul dari pemajakan atas ekonomi digital, selain terkait perusahaan yang menerapkan skema BEPS, sebenarnya lebih mudah diselesaikan. Alasannya, karena lebih menitikberatkan pada upaya memastikan kepatuhan pelaku beserta pihak terkait.
Tak semua terdaftar
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menyatakan, tidak semua perusahaan asing yang berbisnis dan beroperasi di Indonesia tercatat sebagai badan usaha tetap (BUT), antara lain karena tidak memenuhi syarat. Sejauh ini, mayoritas BUT yang terdaftar bergerak di sektor minyak dan gas (migas).
BUT merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi atau badan asing untuk berbisnis di Indonesia. Kriteria BUT harus memiliki tempat usaha permanen.
Menurut Hestu, perusahaan yang terdaftar sebagai BUT menjadi wajib pajak luar negeri. Data BUT terus berubah karena mereka yang tidak lagi berbisnis di Indonesia otomatis bukan lagi BUT. Misalnya, perusahaan konstruksi yang selesai membangun proyek. BUT tidak secara spesifik membidik perusahaan teknologi digital.
”Target pemerintah memastikan bahwa setiap orang atau perusahaan asing yang berbisnis di Indonesia terdaftar sebagai BUT sepanjang mereka memenuhi persyaratan,” ujarnya.
PMK No 35/2019 diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum seiring berkembangnya model usaha lintas negara yang melibatkan subyek pajak luar negeri. Untuk itu, PMK menjelaskan tata cara pendaftaran dan pencabutan kewajiban perpajakan lebih detail dari yang sudah dijelaskan dalam UU No 36/2018 tentang PPh.
Sejauh ini, skema pungutan pajak BUT yang diterapkan Indonesia berdasarkan prinsip destinasi. Sementara itu, pungutan pajak untuk perusahaan lintas negara bukan BUT masih menunggu konsensus internasional tahun 2020. Nantinya pungutan pajak dihitung sesuai transaksi keuntungan yang diperoleh.
Baca juga: Amerika Serikat Keberatan Pajak Digital