JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun sebagai tersangka. Nurdin terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi atas dugaan suap perizinan lokasi rencana reklamasi di Provinsi Kepulauan Riau.
”KPK meningkatkan status penanganan perkara kepada penyidikan dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka terkait izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut, proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kepulauan Riau tahun 2018/2019 dan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Selain Nurdin yang ditetapkan sebagai tersangka, dua orang lainnya, antara lain Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Edy Sofyan dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap Budi Hartono. Ketiga orang ini diduga sebagai penerima suap dari Abu Bakar selaku pihak swasta.
Kasus ini berawal dari Pemerintah Provinsi Kepri yang mengajukan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kepri untuk dibahas di Paripurna DPRD Kepri. Keberadaan perda ini akan menjadi acuan dan dasar hukum pemanfaatan pengelolaan wilayah kelautan Kepri.
Terkait dengan RZWP3K Provinsi Kepri, terdapat beberapa pihak yang mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodasi dalam RZWP3K Provinsi Kepri.
Pada Mei 2019, Abu Bakar, swasta, mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam, untuk pembangunan resor dan kawasan wisata seluas 10,2 hektar. Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung.
Gubernur Kepri Nurdin Basirun kemudian memerintahkan Kepala Bidang Perikanan Tangkap Budi Hartono dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Edy Sofyan membantu Abu agar izinnya segera disetujui.
Untuk mengakali hal tersebut, Budi memberi tahu Abu agar izinnya disetujui, maka ia harus menyebutkan akan membangun restoran dengan keramba sebagai budidaya ikan di bagian bawahnya. ”Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya,” ujar Basaria.
Dalam perkara ini, Nurdin diduga menerima uang dari Abu, baik secara langsung maupun tidak, melalui Edy dalam beberapa kali kesempatan. Pada 30 Mei 2019, Nurdin menerima 5.000 dollar Singapura dan Rp 45 juta. Esoknya, terbit izin prinsip reklamasi untuk Abu dengan luas area sebesar 10,2 hektar. Selanjutnya, pada 10 Juli 2019 Abu memberikan tambahan uang 6.000 dollar Singapura kepada Nurdin melalui Budi.
Nurdin diduga menerima uang dari Abu, baik secara langsung maupun tidak, melalui Edy dalam beberapa kali kesempatan.
KPK kemudian menerima informasi akan ada penyerahan uang di Pelabuhan Sri Bintan Tanjung Pinang, Kepri. Tim KPK kemudian mengamankan Budi pada waktu yang sama saat akan keluar dari area pelabuhan tersebut. Dari tangan Budi, KPK mengamankan uang sejumlah 6.000 dollar Singapura.
Secara paralel, tim KPK mengamankan Nurdin di rumah dinasnya di daerah Tanjungpinang pada pukul 19.30 WIB. Di sana, tim KPK juga mengamankan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Riau yang tengah berada di rumah dinas gubernur.
Dari sebuah tas di rumah Nurdin, KPK mengamankan uang sejumlah 43.942 dollar Singapura, 5.303 dollar AS, 5 euro, 407 ringgit Malaysia, 500 riyal, dan Rp 132.610.000.
Kasus ini juga menambah deretan jumlah kepala daerah dan jajaran di bawahnya, yang kasusnya diproses KPK dengan berbagai modus korupsi. Hingga saat ini, KPK sudah menangani 107 kasus terkait kepala daerah.
”Hal ini kami pandang lebih buruk lagi jika alasan investasi digunakan sebagai pembenar dalam melakukan korupsi. Apalagi kita memahami, investasi akan berarti positif bagi masyarakat dan lingkungan jika dilakukan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan good governance. Investasi semestinya dilakukan tanpa korupsi dan tidak merusak lingkungan,” kata Basaria.