OTT Gubernur Kepri, Cermin Buruk Kepala Daerah yang Disponsori Swasta
Oleh
Sharon Patricia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun dalam operasi tangkap tangan atau OTT pada Rabu (10/7/2019) karena diduga menerima suap terkait perizinan lokasi rencana reklamasi di Provinsi Kepulauan Riau. Penangkapan ini menjadi cermin bagaimana buruknya kepala daerah yang disponsori kalangan swasta ketika bertarung dalam pilkada.
Penerimaan suap terkait dengan izin yang dikeluarkan kepala daerah, sebagaimana dugaan korupsi dalam penangkapan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), merupakan contoh buruknya ekosistem pemerintahan daerah selama ini. Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar Baharuddin mengakui, penangkapan kepala daerah karena korupsi tak lepas dari peran swasta yang selama ini menjadi sponsor dalam pencalonan kepala daerah.
”Ini pekerjaan rumah kita yang harus diselesaikan bersama dari pemerintahan, termasuk harus ada pembenahan ekosistem, khususnya pihak swasta yang sering kali menjadi sponsor dari pencalonan kepala daerah,” kata Bahtiar di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Bahtiar mengakui bahwa sistem pengawasan harus lebih diperketat. Pasalnya, meski Kepri telah menjadi wilayah yang mendapat perhatian khusus, sejumlah kasus korupsi, khususnya dalam perizinan, terus terjadi. Sebagai contoh, pada Maret 2019 KPK juga menindaklanjuti penyelidikan atas kasus pemberian izin tambang bauksit di Pulau Bintan, Kepri.
Sejalan dengan itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan bahwa isu anggaran terkait perizinan memang selalu menjadi area yang sangat kritis dan rentan terhadap praktik korupsi. Korupsi terkait perizinan menjadi tanda gagalnya sistem bekerja dan lebih banyak pasar gelap yang berkuasa.
Robert menilai, korupsi terkait perizinan disebabkan perizinan di daerah pada hari ini masih didorong ke pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) secara manual. Dengan begitu, pemerintah daerah masih bisa ”bermain” untuk memilah dan menentukan izin apa yang akan dimasukkan ke dalam sistem.
”Tidak hanya di Kepri, sebagian besar wilayah kita di provinsi, izin gemuk atau izin ’mata air’ yang berpotensi masuk ke daerah dalam bentuk rencana anggaran daerah atau berpotensi menjadi pemburuan rente bagi individu yang bersangkutan biasanya akan ditahan oleh kepala daerah,” ujar Robert.
Sebenarnya, penerapan PTSP dimulai sejak 2006, tetapi hingga kini hanya berupa imbauan. Robert menegaskan, pemerintah pusat harus mendorong, memastikan, dan mewajibkan daerah bahwa semua hal terkait perizinan harus masuk ke dalam sistem.
”Saat ini, kan, PTSP namanya menjadi Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). Maka, segala hal perizinan harus masuk ke dalam sistem elektronik ini dan yang di luar sistem disebut ilegal,” ujarnya.
Dalam penerapan OSS pun, Robert menyatakan pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri harus memaksa para pemerintah daerah untuk menerapkan sistem ini. Jangan sampai kepala daerah diberikan kebebasan untuk menentukan izin apa yang akan dimasukkan dalam OSS.
”Standar nasional wajib diberlakukan bahwa semua izin harus masuk sistem. Kalau diberikan kebebasan, kepala daerah pasti memilih izin yang menguntungkan dirinya, yaitu izin kecil atau izin ’air mata’, misalnya izin administrasi. Sementara izin besar yang menjadi sumber pemasukan pasti akan ditahan sendiri oleh kepala daerah,” kata Robert.
Diganti wakil gubernur
Terkait jabatan Nurdin sebagai gubernur Kepulauan Riau, Kementerian Dalam Negeri menyatakan tetap menunggu putusan hukum tetap. “Tetap kami di awal menerapkan asas praduga tak bersalah. Kalau pun Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Nurdin Basirun nanti ditetapkan tersangka, kami tetap akan menunggu putusan hukum tetap terlebih dahulu,” kata Bahtiar.
Menurut Bahtiar, apabila Nurdin ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, sesuai skenario hukum secara pemerintahan, maka tugas dan kewenangan Nurdin sebagai Gubernur Kepri sepenuhnya akan dilaksanakan oleh Wakil Gubernur Kepri Isdianto. Pergantian posisi ini dilakukan hingga ada keputusan hukum yang ditetapkan atau inkracht.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya dalam Pasal 65 Ayat 4 dinyatakan bahwa dalam hal kepala daerah sedang menjalani masa tahanan sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 atau berhalangan sementara, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah.
“Tentu kita juga sangat menyayangkan hal ini terjadi karena posisi Gubernur itu kan ada dua otoritas yang melekat dalam dirinya. Sebagai kepala daerah otonom dan pada waktu yang sama dia juga sebagai wakil pemerintah pusat,” kata Bahtiar.
Pada pukul 14.14 WIB, Nurdin yang mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru dongker tiba di Gedung KPK, Jakarta. Selain Nurdin, ada pula enam orang lainnya yang akan menjalani pemeriksaan di KPK.
Keenam orang tersebut, antara lain Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan, Abu Bakar; Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Edy Sofyan; Kepala Bidang Perikanan Tangkap DKP, Budi Hartono; staf DKP Provinsi Kepri, Aulia Rahman; dan pengusaha asal Karimun, Andreas Budi Sampurno; dan supir Edy Sofyan, Muhammad Salihin.
Dicopot dari Ketua DPW
Secara terpisah Sekretaris Jenderal Nasional Demokrat (Nasdem) Johnny G Plate menyampaikan, Nurdin yang merupakan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Nasdem Kepri langsung dibebastugaskan dan digantikan oleh Willy Aditia. Tim Dewan Pimpinan Pusat pun langsung dikirim ke Kepri untuk mengumpulkan informasi dan investigasi internal terkait dengan proses OTT tersebut.
“Kami mendukung KPK melaksanakan usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan tetap menjaga proses yang akuntabel dan bertanggung jawab,” ujar Johnny.
Robert juga menyoroti persoalan partai politik yang menjadi persoalan hulu dalam pembenahan korupsi kepala daerah. Perlu adanya reformasi partai politik untuk turut membenahi persoalan korupsi para kepala daerah.
Data Anti-Corruption Clearing House menunjukkan pada 2004 hingga 2018, ada 20 gubernur yang melakukan tindak pidana korupsi. Sementara walikota dan bupati termasuk wakilnya, dalam periode yang sama, KPK menangani hingga 101 orang.
“Artinya, pencegahan ini belum cukup optimal. Korupsi kita itu korupsi kekuasaan, maka partai politik yang harus terlebih dahulu dibenahi, terutama dalam hal pendanaan dan pencalonan,” ujarnya.
Selama biaya politik tinggi, maka keterlibatan swasta dalam pencalonan kepala daerah akan selalu berujung pada praktik korupsi. Sederhananya, ketika kepala daerah itu terpilih maka swasta akan menagih janji di awal untuk melancarkan proyeknya, khususnya dalam hal pemberian izin.