JAKARTA, KOMPAS— Kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang terus terjadi di Indonesia. Sejumlah perempuan di Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DKI Jakarta, beberapa tahun terakhir, menjadi korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan atau kawin kontrak dengan pria dari China. Hal tersebut mencerminkan lemahnya perlindungan pada perempuan dan penegakan hukum kasus itu.
Selain kekerasan fisik dan psikis, sejumlah korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan juga mengalami kekerasan seksual. Beberapa korban berhasil melarikan diri dan bisa dipulangkan ke Tanah Air setelah meminta tolong kepada Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), konsulat jenderal, ataupun Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing.
”Selama ini ada laporan kasus TPPO dengan modus pengantin pesanan, tetapi aparat penegak hukum masih menganggap kasus itu sepele,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional SBMI Hariyanto, Rabu (10/7/2019), di Jakarta.
Hariyanto mencontohkan, laporan dugaan TPPO di Jawa Barat. Kepolisian Daerah Jabar menegaskan, hal itu masuk TPPO, tetapi Mabes Polri menilai kasus itu tak memenuhi unsur TPPO. Akibatnya, pelaku leluasa mencari korban. Mereka menerjunkan calo (makcomblang) ke daerah untuk mendekati para perempuan dengan iming-iming ekonomi membaik jika menikah dengan warga China.
Potret lemahnya perlindungan perempuan dan penegakan hukum atas kasus TPPO juga tergambar dalam US Trafficking in Persons Report 2017 (Kaleidoskop Perlindungan WNI yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri Tahun 2017).
Keluarga tak mampu
Perempuan yang diincar rata-rata dari keluarga tak mampu, seperti keluarga petani. Ada pula dari keluarga bermasalah, misalnya orangtua bercerai. Para korban menerima tawaran calo karena ingin mengubah hidup mereka. Apalagi, sebelumnya ada orang sekitar mereka menikah dengan warga asing dan ekonominya membaik.
Menurut Mardiana Maya Satrini, Satgas Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak MAHARANI Singkawang, korban perdagangan orang rata-rata dari keluarga tidak mampu.
Seperti yang dialami M (24) dari Pontianak, korban TPPO dengan modus pengantin pesanan yang berhasil dipulangkan ke Indonesia akhir Juni 2019 setelah disiksa suami dan keluarganya.
M berasal dari keluarga tak mampu. Kesehariannya membantu bibinya di sawah. Ibunya tidak bekerja. Adik-adiknya ada yang bekerja di warung kopi dan toko mebel, tetapi penghasilannya tak seberapa. Tawaran dari makcomblang untuk dinikahkan dengan pria asal China membuat M menerimanya dengan harapan bisa memperbaiki ekonomi keluarga. Apalagi, dia dijanjikan bisa mengirim uang kepada orangtuanya di Pontianak dan bisa pulang ke Indonesia setiap saat. ”Katanya setelah sampai di Shijiazhuang, tiga bulan kemudian akan ada perkawinan resmi. Tapi itu tak pernah terjadi,” ujarnya.
Saat baru tiba di China, dirinya dipaksa melayani suaminya meski sedang haid. Mertuanya tak terima dan menelanjanginya, lalu menghukumnya tidur semalaman di luar rumah, padahal musim dingin. Setelah itu, hari-harinya penuh dengan kesengsaraan karena disuruh bekerja membuat kerajinan dan gaji diambil mertua.
Begitu juga F (31), warga Singkawang, Kalimantan Barat, korban perdagangan orang yang menikah dengan warga Taiwan. Keluarganya menggarap tanah sewaan dan tinggal di rumah sewa sederhana di pinggir Kota Singkawang. Penghasilan berjualan buah dan sayuran tak seberapa untuk menopang kehidupan mereka.
Kondisi itu membuat ia nekat berangkat ke Taiwan pada 2005 demi memperbaiki ekonomi keluarga. Namun, setelah di Taiwan, ia tak diperlakukan selayaknya istri oleh suaminya.
SBMI menangani kasus perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan sejak 2016. Hingga kini, organisasi itu menangani kasus dari 23 korban TPPO dengan modus pengantin pesanan dengan pria asal China. Mayoritas korban (20 orang) asal Kalbar (Pontianak, Sintang, Sambas, Sanggau, Mempawah, Kubu Raya, dan kabupaten lain), sisanya dari Jabar, Banten, dan DKI Jakarta.
Para korban adalah perempuan berwajah Tionghoa daratan berusia 20-30 tahun. Dari 20 korban yang mengadu pada SBMI, 10 orang di antaranya berhasil dipulangkan ke Indonesia, 6 korban masih di China (termasuk 2 orang yang berada di KBRI Beijing).
Beberapa korban hanya mengantongi visa kunjungan dan tak menjalani perkawinan resmi di Indonesia ataupun di China.
Jaringan pelaku TPPO modus pengantin pesanan bekerja dengan rapi. Pelakunya berada di dua negara. Pelaku di China mencari pria China yang butuh perempuan, sedangkan pelaku di Indonesia ada tiga kelompok. Mahadir, Ketua DPC SBMI Mempawah, mencontohkan jaringan di Kalbar bertugas merekrut korban, mengatur pertunangan, dan mengurus dokumen di daerah; pelaku di Jakarta mengurus visa dan pemberangkatan korban ke China.
”Ini jadi bisnis besar karena keluarga pengantin kena biaya Rp 400 juta hingga Rp 500 juta. Padahal, korbannya hanya diberikan uang mahar Rp 15 juta sampai Rp 25 juta. Sisanya biaya perekrutan, tunangan, dan urus dokumen. Mereka punya penghubung di Jakarta, termasuk saat mengurus visa,” ujar Bobby, Sekjen DPN SBMI.
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Vennetia R Danes mengatakan, modus perdagangan orang canggih dan sulit diputus mata rantainya.
Menurut Thaufik Zulbahary, komisioner Komnas Perempuan, isu perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan luput dari perhatian publik.
”Jika pernikahan menjadi modus TPPO, itu harus dicegah dan penegakan hukum harus dilakukan agar ada efek jera pada pelaku,” katanya.