Perokok Pemula Makin Banyak, Kenaikan Harga Rokok Jadi Cara Efektif
Prevalensi perokok pemula meningkat menjadi 9,1 persen. Pada 2013, perokok pemula usia di bawah 18 tahun sebanyak 7,2 persen. Meningkatnya jumlah ini menunjukkan komitmen negara dalam melindungi masyarakat dari ancaman rokok belum optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi perokok pemula makin meningkat menjadi 9,1 persen. Pada 2013, perokok pemula usia di bawah 18 tahun sebanyak 7,2 persen. Meningkatnya jumlah perokok pemula ini menunjukkan komitmen negara dalam melindungi masyarakat dari ancaman rokok belum optimal, terutama dalam upaya monitor dan evaluasi kebijakan.
Sejumlah regulasi sudah diterbitkan untuk membatasi konsumsi rokok di masyarakat. Aturan itu antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat.
Bahkan, Inpres No 1/2017 menyebutkan, 21 kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menyinergikan tindakan upaya promotif dan preventif hidup sehat, termasuk dalam mengendalikan produk tembakau. Menteri Perdagangan, misalnya, bertanggung jawab meningkatkan pengawasan terhadap peredaran dan penjualan produk tembakau, sedangkan Menteri Keuangan melakukan kajian peningkatan cukai dan pajak produk tembakau.
”Persoalan utama ada pada monitoring dan evaluasi. Semua punya aturan, tetapi keberlanjutan aturan itu tidak bisa dipastikan. Untuk itu, cara paling efektif untuk menurunkan prevalensi perokok adalah menaikkan harga rokok semaksimal mungkin,” ujar Ketua Umum Komite Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Menurut dia, jika tidak ada ketegasan segera dari negara untuk menekan prevalensi perokok, prevalensi penyakit tidak menular terus meningkat sehingga biaya kesehatan semakin tinggi. Dalam jangka waktu panjang, kualitas sumber daya manusia akan menurun dan generasi emas di masa depan tidak terwujud.
Kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) tahun 2015 memperlihatkan, Indonesia menyumbang lebih dari 230.000 kematian akibat konsumsi produk tembakau setiap tahun. Globocan 2018 menyatakan, dari total kematian akibat kanker di Indonesia, kanker paru menempati urutan pertama penyebab kematian, yaitu 12,6 persen. Sementara data Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan menyebutkan, 87 persen kasus kanker paru berhubungan dengan merokok.
Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun 2017, sebanyak 10.801.787 juta orang atau 5,7 persen peserta Jaminan Kesehatan Nasional mendapat pelayanan untuk penyakit katastropik dan menghabiskan biaya kesehatan sebesar Rp 14,6 triliun atau 21,8 persen dari seluruh biaya pelayanan kesehatan. Dari jumlah itu, komposisi peringkat penyakit jantung sebesar 50,9 persen atau Rp 7,4 triliun dan penyakit ginjal kronik sebesar 17,7 persen atau Rp 2,6 triliun.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie menyampaikan, rokok menjadi pintu masuk berbagai penyakit tidak menular. Rokok merupakan faktor risiko penyakit yang memberikan kontribusi paling besar dibandingkan faktor risiko lain.
Perokok berisiko 2 sampai 4 kali lipat terserang penyakit jantung koroner dan memiliki risiko lebih tinggi untuk terserang penyakit kanker paru dan penyakit tidak menular lainnya.
”Pengendalian tembakau harus dilakukan dari hulu. Penyakit ini menjadi akibat dari pengendalian yang belum optimal. Pengendalian dari hulu ini mulai dari melarang secara tegas pembelian rokok di bawah umur, menerapkan kawasan tanpa rokok, serta pelarangan iklan dan sponsor rokok,” katanya.