Petani Milenial, Masa Depan Kedaulatan Pangan Indonesia
Minat generasi milenial untuk bekerja pada sektor pertanian mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal ini menjadi lampu kuning di tengah meningkatnya kebutuhan pangan dalam negeri. Regenerasi petani diperlukan bagi masa depan kedaulatan pangan negeri ini.
Generasi milenial kini menjadi mayoritas penduduk Indonesia. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2017 lalu sebanyak 33,75 persen penduduk Indonesia merupakan generasi milenial. Yaitu mereka yang lahir antara tahun 1980 hingga tahun 2000. Proporsi penduduk dari kalangan generasi milenial lebih besar dibandingkan generasi lainnya.
Sementara penduduk kelahiran tahun 2000 ke atas, atau disebut generasi Z, menjadi kelompok generasi terbesar kedua di Indonesia. Sebanyak 29,23 persen penduduk di Indonesia masuk pada kategori generasi ini. Artinya, jika generasi milenial digabungkan dengan generasi Z, hampir dua per tiga penduduk di Indonesia berusia muda atau di bawah 37 tahun.
Pada satu sisi, banyaknya jumlah generasi muda menjadi suatu peluang bagi Indonesia untuk melakukan regenerasi petani subsektor tanaman pangan, khususnya padi. Namun, pada sisi lain, sektor pertanian tidak begitu dilirik oleh anak muda di Indonesia.
Hal ini terlihat dari kecilnya jumlah generasi milenial yang bekerja pada sektor pertanian. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2017 lalu, hanya 21,95 persen anak muda Indonesia yang bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Artinya, hanya satu dari lima anak muda di Indonesia yang bekerja pada sektor ini. Persentase ini mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2015 lalu. Saat itu, 25,78 persen anak muda di Indonesia bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Hal ini mengindikasikan adanya penurunan minat anak muda di Indonesia untuk bekerja sebagai petani setiap tahunnya. Kondisi ini sejalan dengan semakin menurunnya jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian di Indonesia. Sensus pertanian yang dilakukan oleh BPS setiap satu dekade mencatat adanya penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian.
Pada tahun 2003 lalu, terdapat 14,2 juta rumah tangga usaha pertanian pada subsektor tanaman pangan, khususnya tanaman padi. Namun, sepuluh tahun kemudian, jumlah petani pada sektor ini menurun sebesar 58.490 petani.
Penurunan jumlah petani ini dapat memberikan efek domino yang cukup besar. Jika diasumsikan satu orang petani mampu mengerjakan hingga dua hektar lahan setiap musim, maka terdapat sekitar 116 ribu hektar lahan pertanian yang kehilangan tenaga kerja. Kondisi ini tentu dapat berdampak pada penurunan produksi gabah. Jika setiap hektar lahan dapat memproduksi tujuh ton gabah, maka terdapat potensi sebesar 818 ribu ton gabah yang tidak dapat dipanen karena tidak adanya penggarap lahan.
Meski demikian, dibalik penurunan jumlah petani, BPS mencatat luas lahan sawah di Indonesia justru mengalami peningkatan pada periode yang sama. Pada tahun 2003 lalu, terdapat 7,8 juta hektar lahan sawah. Jumlah ini meningkat 251.934 hektar pada tahun 2013 menjadi 8,1 juta hektar.
Jika melihat klasifikasi seluruh rumah tangga usaha tani, terlihat jelas minimnya usia petani muda. Hingga tahun 2013 lalu, hanya terdapat 12,87 persen petani yang berusia di bawah 34 tahun. Sementara 87,13 persen lainnya adalah petani berusia di atas 35 tahun. Bahkan, masih terdapat petani yang berusia di atas 65 tahun, yaitu sebesar 12,75 persen dari total petani yang ada.
Jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian terus mengalami penurunan. Pada tahun 2015, masih terdapat 40,12 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Namun, jumlah ini mengalami penurunan hingga menjadi 38,11 juta orang pada Februari 2019.
Jika melihat berdasarkan garis tren, terdapat penurunan jumlah petani secara konsisten dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Penurunan jumlah petani ini senada dengan semakin kecilnya persentase petani usia muda setiap tahunnya. Kondisi tersebut menjadi lampu kuning bagi dunia pertanian di Indonesia, khususnya pada sektor tanaman pangan. Jika petani muda terus berkurang, maka hal ini turut mengancam masa depan kedaulatan pangan dalam negeri.
Kebutuhan pangan
Minimnya jumlah petani, khususnya petani muda, berbanding terbalik dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini menjadi suatu persoalan karena peningkatan jumlah penduduk akan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan pangan dalam negeri.
Menurut catatan BPS, pada pertengahan tahun 2017 lalu, jumlah penduduk Indonesia mencapai 261,9 juta jiwa. Jumlah penduduk ini meningkat sebesar 9,7 juta jiwa jika dibandingkan pada pertengahan tahun 2014 sebesar 252,2 juta jiwa. Artinya, dalam empat tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan penduduk mencapai 2,4 juta jiwa per tahun.
Tentu, kenaikan jumlah penduduk ini akan diikuti oleh kenaikan kebutuhan beras dalam negeri. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, rata-rata konsumsi beras per kapita pada tahun 2017 lalu mencapai 114,6 kilogram (kg) dalam satu tahun.
Jika laju pertumbuhan penduduk konstan setiap tahunnya, maka terdapat kenaikan kebutuhan beras 114,6 kg per kapita sesuai pertambahan jumlah penduduk. Untuk itu, butuh kehadiran petani muda demi menjamin tercukupinya kebutuhan pangan dalam negeri.
Kebutuhan petani dari generasi muda juga tak terlepas dari luasnya area sawah di Indonesia. Menurut data dari BPS, luas area panen padi di Indonesia pada tahun 2018 lalu mencapai 10,9 juta hektar. Jika diasumsikan separuh lahan ini digarap oleh petani muda, dan setiap petani mengerjakan dua hektar lahan, maka setidaknya dibutuhkan 2,5 juta petani muda di Indonesia.
Potensi daerah
Untuk melakukan regenerasi petani, setiap daerah memiliki potensi yang begitu besar. Potensi ini dapat dilihat dari sebaran generasi milenial yang merata pada setiap provinsi, termasuk pada daerah-daerah lumbung padi.
Salah satu daerah lumbung padi di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur. Menurut data BPS per 2018, Jawa Timur menjadi daerah penghasil padi terbesar di Indonesia. Dengan lahan panen seluas 1,8 juta hektar, Jawa Timur mampu memperoleh hasil panen hingga 10,5 juta ton beras.
Sebagai daerah lumbung padi, Jawa Timur memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan regenerasi petani. Pasalnya, pada daerah ini terdapat 12,3 juta penduduk yang termasuk pada kategori generasi milenial. Jumlah ini setara dengan 31,44 persen dari total penduduk yang ada di daerah ini.
Peluang serupa juga terdapat di Jawa Barat. Selain menjadi daerah dengan total panen padi terbesar kedua di Indonesia, Jawa Barat juga merupakan provinsi dengan jumlah generasi milenial terbesar jika dibandingkan provinsi lainnya. Pada tahun 2018 lalu, daerah ini mampu menghasilkan 9,6 juta ton beras dari 1,7 juta hektar lahan panen. Sebagai daerah lumbung padi, Jawa Barat juga memiliki 34,47 persen penduduk yang masuk kategori generasi milenial atau sebesar 16,5 juta jiwa.
Potensi untuk melakukan regenerasi petani juga terdapat pada daerah-daerah lumbung padi di luar Pulau Jawa. Di Pulau Sumatera, misalnya, lumbung padi terdapat di Provinsi Sumatera Selatan. Daerah ini menghasilkan 2,6 juta ton beras dengan luas lahan panen hingga 521 ribu hektar. Sama dengan daerah lainnya, sepertiga penduduk di wilayah ini juga termasuk generasi milenial yang jumlahnya mencapai 2,8 juta jiwa.
Pada wilayah Indonesia bagian timur, regenerasi petani juga bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Sebab, pada daerah lumbung padi seperti Sulawesi Selatan, sepertiga penduduk di wilayah ini juga termasuk generasi milenial.
Meratanya persebaran generasi milenial di setiap provinsi menjadi suatu peluang bagi setiap daerah untuk melakukan regenerasi petani. Hanya saja, butuh strategi khusus untuk melakukan regenerasi di tengah minimnya daya tarik sektor pertanian bagi anak muda.
Strategi pemerintah
Untuk melakukan regenerasi, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya. Salah satunya adalah melalui penerbitan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/1/2013 tentang Pedoman Pengembangan Generasi Muda Pertanian.
Dalam aturan ini, pemerintah bermaksud memberikan acuan kepada lembaga penyelenggara pendidikan dan pelatihan, hingga pemerintah daerah dalam pengembangan generasi muda pada sektor pertanian. Generasi muda yang dimaksud adalah penduduk yang berusia maksimal 35 tahun.
Salah satu program yang dicanangkan dalam aturan ini adalah taruna tani. Kegiatan ini difokuskan pada menumbuhkan minat hingga peningkatan kemampuan teknis pertanian bagi anak petani berusia 16 hingga 22 tahun. Kegiatan ini dilakukan melalui jalur penyuluhan dan diklat pertanian. Melalui program ini, anak muda yang bekerja pada sektor pertanian diharapkan dapat membantu kegiatan usaha tani keluarga.
Selain itu, juga terdapat program petani muda wirausaha untuk anak muda pada rentang usia 20 hingga 35 tahun. Kegiatan ini salah satunya difokuskan untuk meningkatkan kompetensi petani di bidang teknis agribisnis. Peningkatan keterampilan petani juga dilakukan melalui program magang di dalam dan luar negeri.
Program regenerasi penting dilakukan untuk menjamin ketersediaan sumber daya manusia pada sektor pertanian. Jika tidak, bukan hal yang mustahil lahan pertanian di Indonesia akan menjadi lahan kosong tanpa penggarap. Hal ini tentunya dapat menimbulkan efek ketergantungan Indonesia pada impor pangan, terutama beras. (Dedy Afrianto/Litbang Kompas)