JAKARTA, KOMPAS—Sejumlah sektor industri diandalkan sebagai kontributor ekspor nasional. Di tengah dinamika perekonomian domestik dan global, pelaku industri membutuhkan dukungan untuk meningkatkan kinerja ekspor.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian yang dikutip Kamis (11/7/2019), salah satu penyumbang ekspor pada Januari-Mei 2019 adalah industri makanan. Nilai ekspor industri makanan 10,56 miliar dollar AS dan berkontribusi 20,69 persen terhadap total ekspor industri pengolahan Januari-Mei 2019.
Berikutnya, industri logam dasar dengan nilai ekspor 6,52 miliar dollar AS serta industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia senilai 5,38 miliar dollar AS. Berikutnya, industri pakaian jadi dengan nilai ekspor 3,55 miliar dollar AS serta industri kertas dan barang dari kertas 3 miliar dollar AS.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menuturkan, hal mendesak saat ini adalah percepatan negosiasi bilateral dengan negara tujuan ekspor potensial. Tim terpadu diperlukan untuk menggelar perundingan bilateral secara intensif terkait tarif dan nontarif.
"Hal ini akan efektif di tengah suasana perang dagang dan proteksionisme," jelasnya.
Menurut Adhi, penguatan industri dalam negeri melalui eliminasi hambatan dan biaya tinggi diperlukan untuk mengoptimalkan penggarapan pasar domestik maupun ekspor.
Hal itu dapat diwujudkan antara lain melalui regulasi ketersediaan bahan baku dan sinkronisasi kebijakan mengurangi ketergantungan impor. Implementasi insentif mesti dikawal ketat agar efektif.
Strategis
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono menuturkan, posisi industri plastik dan karet strategis. Namun, karakteristik keduanya berbeda.
"Banyak bahan baku dan produk plastik yang masih diimpor, dengan nilai mencapai 20 miliar dollar AS," katanya.
Achmad Sigit menambahkan, sudah ada komitmen investasi dari dua industri besar, yakni Chandra Asri dan Lotte Chemical, dalam memperkuat sektor industri plastik di sisi bahan baku. Pemerintah juga akan menarik lagi industri petrokimia.
"Dengan demikian, dalam 5 tahun mendatang, diharapkan kita mampu mensubstitusi sekitar separuh dari importasi," kata Achmad Sigit.
Sementara itu, Indonesia merupakan penghasil karet alam terbesar kedua di dunia. Produksi karet Indonesia lebih dari 3,5 juta ton, akan tetapi serapan industrinya sekitar 650.000-700.000 ton.
"Pemerintah berupaya agar industri karet dan produk karet dapat lebih maju dalam menyerap bahan baku yang berlimpah," ujarnya.
Kemenperin memfasilitasi penyerapan bahan baku karet melalui teknologi aspal karet. Kemenperin bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam mengaplikasikan aspal karet di jalan-jalan tol seluruh Indonesia.
"Kalau ini bisa dilakukan, setidaknya 120.000 ton atau 7 persen dari kebutuhan aspal dalam negeri yang sekitar 1,6 juta ton dapat disubstitusi dengan karet alam," ujarnya.
Industri ban merupakan salah satu penyerap karet. Menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Azis Pane, saat ini industri ban di Indonesia menggarap pasar ekspor di 170 negara.
Menurut catatan APBI, sekitar 15-17 persen produksi ban dalam negeri digunakan di pasar domestik, 12-13 persen untuk kelengkapan standar orisinal kendaraan, dan selebihnya diekspor. (CAS)