Insentif Atasi Masalah Biaya Angkut Jalur Bitung-Davao
Pemerintah menyiapkan sejumlah fasilitas insentif untuk menghidupkan kembali jalur perdagangan internasional Bitung, Sulawesi Utara, dan Davao, Filipina. Insentif itu berupa potongan biaya pelabuhan, penurunan harga bahan bakar minyak, dan relaksasi aturan ekspor-impor.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menyiapkan sejumlah fasilitas insentif untuk menghidupkan kembali jalur perdagangan internasional Bitung, Sulawesi Utara, dan Davao, Filipina. Insentif itu berupa potongan biaya pelabuhan, penurunan harga bahan bakar minyak, dan relaksasi aturan ekspor-impor.
Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Regional dan Sub-Regional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Netty Muharni, Jumat (12/1/2019) di Jakarta menuturkan, insentif diberikan untuk mengatasi persoalan biaya angkut peti kemas di jalur pelayaran kargo Filipina-Indonesia. Jalur perdagangan yang dibuka 2017 itu sempat tidak aktif karena mahalnya biaya angkut.
“Kami memastikan supaya ongkos angkut kapal bisa turun. Selain insentif, kalau komoditas yang diangkut banyak, muatan penuh, otomatis ongkos kapal bisa lebih murah,” kata Netty seusai rapat koordinasi bertema keberlanjutan konektivitas laut rute Bitung-Davao dalam kerja sama kawasan pertumbuhan Asia Timur (BIMP-EAGA).
Menurut Netty, pemerintah berupaya mengatasi masalah biaya angkut dengan pemberian fasilitas insentif dan penambahan komoditi dagang. Insentif yang saat ini sudah diberikan, yaitu potongan biaya pelabuhan sebesar 50 persen untuk kapal kargo (refeer). Potongan itu berlaku resiprokal di Pelabuhan Bitung dan di Pelabuhan Davao sekaligus.
Selain itu, pemerintah sedang mengkaji skema penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis biodiesel 20 persen atau B20, dan Dexlite, untuk kapal rute Bitung-Davao. Harga BBM bisa turun apabila pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) menjadi 0 persen.
“Insentif potongan biaya pelabuhan dan penurunan BBM berlaku khusus untuk kerja sama konektivitas laut rute Bitung-Davao,” kata Netty.
Rute Bitung-Davao merupakan bagian dari Rencana Utama Konektivitas ASEAN dan cetak biru dari The East ASEAN Growth Area yang sudah dirintis sejak 1994. Inisiatif ini melibatkan empat negara ASEAN, yakni Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Filipina.
Presiden Joko Widodo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte meresmikan jalur perdagangan Davao-Bitung di Pelabuhan Kudos, Davao pada 30 April 2017. Namun, tidak ada lagi kapal berlayar ke Bitung setelah kapal pertama kembali ke Davao.
Salah satu penyebabnya, yaitu kekurangan muatan ekspor serta perbedaan aturan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian mengenai impor. (Kompas, 20/11/2017)
Menurut Netty, masalah biaya angkut juga terkait dengan sedikitnya muatan ekspor. Komoditi yang diangkut dari dan ke Bitung-Davao tidak pernah memenuhi kuota sehingga ongkos angkut kapal menjadi lebih mahal. Pemerintah sedang memetakan kembali tambahan komoditi dan ketersediaan pasar untuk mendorong ekspor.
“Saat ini kapal kosong pun tetap berlayar. Tujuannya untuk memberikan kepastian jadwal bagi dunia usaha,” ujar Netty.
Produk Filipina yang dijual ke Indonesia antara lain, pakan ternak, pupuk, bahan bangunan, produk es krim, unggas, dan buah segar. Adapun produk Indonesia yang dijual ke Filipina, seperti kelapa, kopra, jagung, bahan pakan ternak, kayu, semen, tanaman bernilai tinggi, dan aneka sayuran.
Biaya logistik
Netty menambahkan, tujuan utama reaktivitasi jalur pelayaran kargo Filipina-Indonesia untuk meningkatkan ekspor, investasi, dan pariwisata. Namun, lebih dari itu, reaktivasi jalur dapat menurunkan biaya logistik dan mendorong pemerataan di Indonesia bagian timur. Produk tidak lagi dipasok dari Jakarta sehingga lebih murah.
“Logistik di daerah timur masih mahal. Harapannya, reaktivasi itu bisa ikut mengatasi persoalan nasional itu,” kata Netty.
Catatan Konsulat Jenderal RI di Davao menyebutkan, rute Davao--Bitung hanya membutuhkan waktu sekitar 36 jam. Sebelumnya, distribusi barang dari Bitung ke Davao membutuhkan waktu 3-5 minggu karena harus dibawa melewati Makassar, Surabaya, atau Jakarta sebelum ke Davao.
Rute Davao-Bitung tentu memberikan efisiensi waktu dan biaya. Jika sebelumnya pengangkutan barang dari Manila, Jakarta, dan Bitung membutuhkan biaya 2.200 dollar AS per TEU, kini ongkosnya hanya 700 dollar AS per TEU. (Kompas, 20/11/2017)
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Operasi dan Komersial PT Pelindo IV (Persero) Riman S Duyo menambahkan, selama ini hampir 90 persen ekspor dari wilayah timur Indonesia melalui Surabaya, Semarang, atau Jakarta. Hal itu menyebabkan ongkos angkut kapal jauh lebih mahal dan tidak kompetitif.
“Dampak lainnya, daerah asli komoditas ekspor tidak mendapat pemasukan pajak karena tersedot kota-kota besar itu,” kata Riman.
Pada kunjungan kerja ke Sulut, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menggarisbawahi pentingnya Pelabuhan Bitung untuk ekspor produk Indonesia. Bitung menjadi pintu perdagangan ke Filipina dan Asia Timur. Pelabuhan Bitung juga menjadi pelabuhan hub internasional untuk Indonesia bagian timur.