JAKARTA, KOMPAS — Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya gagal melunasi utang yang jatuh tempo pada 10 Juli 2019 kepada pemerintah. Perusahaan Grup Bakrie itu juga belum menyelesaikan proses sertifikasi dan penghitungan tanah warga korban semburan lumpur.
“Tidak ada pembayaran baru yang dilakukan (Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya). Pembayaran terakhir pada Desember 2018 sekitar Rp 5 miliar,” kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata di Jakarta, Jumat (12/7/2019).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, total utang pokok kedua perusahaan Grup Bakrie mencapai Rp 773,3 miliar, belum termasuk bunga sebesar 4,8 persen per tahun. Namun, utang yang dibayarkan ke pemerintah hingga tenggat 10 Juli 2019 baru sekitar Rp 5 miliar.
Isa mengatakan, pemerintah sudah melayangkan surat tagihan utang kepada Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya, tetapi belum ada tanggapan. Persoalan yang menjerat perusahaan Grup Bakrie tergolong kasus khusus karena belum pernah terjadi dan belum ada penyelesaian sebelumnya.
“Tidak ada negosiasi. Kami menjalankan apa yang ada dalam perjanjian yang sudah disepakati,” kata Isa.
Menurut catatan Kompas, pada 2018, PT Minarak Lapindo Jaya menyampaikan proposal penjadwalan ulang kepada Kemenkeu. Intinya, perusahaan tidak sanggup membayar pelunasan utang sebagaimana dijadwalkan dalam perjanjian dan mengusulkan untuk melunasi semua utang pada akhir 2019.
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo, beberapa waktu lalu, mengatakan, selama ini pemerintah belum pernah menyampaikan perkembangan pembayaran utang Lapindo. Pemerintah diminta menyampaikan pembayaran utang Lapindo dalam rapat khusus bersama DPR.
DPR RI juga meminta pemerintah atau lembaga terkait untuk melakukan audit kecukupan jaminan yang dimiliki Lapindo. Hal itu menilik realisasi pembayaran utang yang masih sangat rendah selama lebih dari 10 tahun terakhir.
“Utang yang dibayar Lapindo ke pemerintah mencukupi bunga utangnya saja belum. Segera lakukan audit untuk mengetahui posisinya seperti apa (keuangan Lapindo) karena seharusnya setiap tahun mereka mencicil,” kata Andreas.
Bencana lumpur terjadi di Kabupaten Sidoarjo sejak 2006. Itu dipicu aktivitas di sumur pengeboran Banjar Panji I milik Lapindo Brantas Inc. Selama 11 tahun, semburan lumpur telah menenggelamkan 671 hektar lahan di 19 desa dan tiga kecamatan. (Kompas, 12/7/2019)
Data terbaru, kata Isa, proses sertifikasi tanah warga korban semburan lumpur lapindo baru selesai sekitar 46 hektar, sementara dalam proses sertifikasi 44-45 hektar. Proses sertifikasi sudah dilakukan sejak 2015, tetapi terkendala tanah yang masih berupa lumpur sehingga sulit diukur.
“Langkah selanjutnya akan dilakukan penilaian terhadap tanah-tanah yang sertifikatnya sudah diserahkan,” kata Isa.
Pemerintah bersama Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya berupaya meningkatkan kualitas barang jaminan. Harga tanah yang sudah bersertifikat akan disesuaikan dengan kondisi terkini sehingga warga tidak merugi.