Badilski, guwe mau ajak lu ke Belanda, tapi ada syaratnya! Iye, kemaren Tom omong ama guwe. Syarat apaan? Proyek liputan Euro 2000 ini guwe bosnya. Ha-haha, oke! Ada syarat lagi. Apaan? Lu kagak boleh marah-marahin guwe! Ha-ha-ha setan lu, kagak, pan elu bosnye!
Di atas adalah sepenggal perbincangan saya dengan Rudy Badil yang notabene adalah senior, mentor, guru, sekaligus ”temen berantem” saat berdebat ide-ide tulisan. Kala itu, Redaktur Pelaksana Kompas Suryopratomo (Tom) menugaskan kami berdua meliput Piala Eropa 2000 di Belanda-Belgia.
Perintah Tom jelas. Saya meliput pertandingan, Badil ngelayap menulis sisi-sisi lain turnamen bola paling masyhur setelah Piala Dunia tersebut. ”Pokoknya, elu jalan aja sendiri, guwe jalan sendiri juga. Elu ke stadion; guwe ngubek-ubek pasar, pelabuhan, musium, panti pijet sampe lokalisasi,” ujar Badil seraya tertawa lepas.
Dari Belanda-Belgia, Badil yang memang seorang petualang alam bebas kemudian mengirimkan tulisan-tulisan khasnya yang ringan, tetapi penuh informasi detail, terutama berkaitan dengan budaya, bahasa, dan kebiasaan, bahkan aneka lelucon setempat.
Sebagai seorang antropolog, Badil tidak ada tandingannya dalam gaya penulisan cerdas dan ”gurih” seperti ini. Dengan gaya bahasanya yang ”nakal” dan sering menggunakan lema-lema percakapan harian, pembaca dibawa ke dalam fakta melalui tulisan dengan gaya bertuturnya yang penuh canda.
Hari Kamis kemarin, sosok yang saya sapa dengan ”Badilski” itu telah menghadap Sang Pencipta. Guru dan mentor bagi banyak sekali jurnalis di lingkungan Kompas-Gramedia itu berpulang pada usia 73 tahun (lahir di Jakarta, 29 November 1945).
Pemilik nama lengkap Rudy David Badil itu meninggalkan seorang istri, Xenia Moeis, dan seorang putra, Banu Adikara, yang juga berprofesi sebagai wartawan. Jurnalis unik yang sering ngomel, tetapi punya hati selembut kapas tersebut pergi menjalani pengembaraan abadinya.
Bagi kami jurnalis Kompas, Rudy Badil adalah figur yang sungguh unik bahkan nyeleneh. Sebagai senior penuh pengalaman, dia selalu mengajar para wartawan pemula. Meski terpaut usia jauh, Badil tak pernah mau disapa dengan atribusi ”mas”, apalagi ”pak”. ”Panggil aja Badil!” ujar salah satu penggagas berdirinya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tersebut.
Dengan menyapa hanya ”Badil”, kami pun menjadi dekat dan akrab meski harus selalu bersiap kena damprat omelannya. Sikapnya yang perfeksionis berpadu dengan karakternya yang meledak-ledak membuat Badil terkesan galak. Karakter itu pula yang dibawanya kala mendidik wartawan baru ke kehidupan nyata di lapangan.
Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Mardiana Pambudy mengenang Badil sebagai mentor yang menjejalkan kehidupan nyata Jakarta tanpa banyak berwacana. ”Badil memasukkan saya yang reporter pemula ke tim liputan pedagang informal. Dia ajak saya menyusuri kampung-kampung kumuh tempat para pedagang bakmi,” tutur Ninuk.
”Sungguh tantangan berat bagi saya menyaksikan bagaimana mereka menyiapkan bakmi. Ngeri-ngeri sedap. Sampai sekarang saya enggak pernah lupa cara Badil menjejalkan real life tersebut,” sambungnya.
Meski terkesan galak, Badil sebenarnya sosok yang sangat humoris dan ngocol abis. Tak heran karena jauh sebelum bergabung dengan Kompas (Agustus 1980), Badil adalah pendiri Warkop DKI bersama Nanu (alm), Dono (alm), Kasino (alm), dan Indro. ”Badil ini sebenernya lucu. Tapi kalau di panggung dia gagu, kringetan, enggak bisa ngomong,” papar Dono dalam sebuah kesempatan.
Sebagai anggota awal pencinta alam Mapala UI (nomor anggota 033), Badil banyak melakukan liputan ke daerah-daerah terpencil di seluruh pelosok Nusantara. Pembawaannya yang kocak membuatnya gampang dekat dengan tokoh-tokoh adat dan masyarakat. Para sahabatnya di Mapala UI berkisah, pergi ke pelosok mana pun, Badil selalu disambut hangat para pemuka masyarakat dan tetua adat.
Badil tak hanya piawai menulis dengan gaya spesial yang ”Badil banget”, tetapi juga seorang fotografer bermata elang. Karya-karyanya sangat mencerminkan kecintaannya pada kehidupan masyarakat, terutama di wilayah terpencil.
Badil adalah juga juru masak yang andal. Sering sekali dia datang ke kantor membawa aneka masakan hasil olahannya. Kadang dia membawa bahan-bahan dan mengolahnya di dapur kantor. Siapa pun yang membantunya di dapur, harus siap terpapar omelannya yang legendaris. Saat mendengar kabar duka, rekan-rekan di Mapala UI sontak memberikan berbagai testimoni.
Selamat jalan, Dil.... Omelanmu gak bakal terdengar lagi. Tapi omelanmu, dampratanmu, tak akan dilupakan banyak pengagummu. (JOY)