Panggung Persaingan Terbaik "Fedal"
Pertemuan dua petenis jenius, Roger Federer dan Rafael Nadal, di semifinal Wimbledon 2019, diharapkan menjadi pertandingan epik seperti pada final 2008.
Wimbledon telah menjadi ajang persaingan menarik Roger Federer dan Rafael Nadal. Pada final 2008, mereka menyuguhkan pertunjukkan yang disebut sebagai pertandingan tenis terbaik sepanjang masa. Setelah 11 tahun, Federer dan Nadal akan bertemu kembali di All England Club, London, Inggris.
Semifinal Federer melawan Nadal, laga yang paling dinanti sejak undian Wimbledon 2019 dirilis dua pekan lalu, akan berlangsung Jumat (12/7/2019). Ingar bingar menjelang pertemuan Fedal, julukan untuk mereka, menutup persiapan semifinal lain antara petenis nomor satu dunia, Novak Djokovic, dan Roberto Bautista Agut, petenis Spanyol yang baru kali ini lolos ke semifinal Grand Slam.
Kekalahan itu membuat Nadal menangis selama lebih dari satu jam di ruang ganti
Kepastian bertemunya Federer dan Nadal di semifinal melambungkan harga tiket tersisa yang dijual melalui agen resmi secara daring. Tiket untuk Lapangan Utama, Jumat, dijual dengan harga Rp 86 juta – 147 juta, tergantung posisi kursi. Nilai ini 27 hingga 54 kali lebih mahal dibandingkan tiket yang dijual dengan cara diundi dan secara langsung pada hari-H. Harga yang dijual dengan dua cara tersebut telah ditentukan panitia sejak awal.
Laga semifinal kali ini menjadi persaingan ke-40 Federer dan Nadal. Namun, ada yang spesial dari setiap pertemuan mereka di Wimbledon. Tiga pertemuan sebelumnya, 2006-2008, selalu terjadi di final.
Federer terlalu tangguh bagi Nadal saat mereka bertemu pada final 2006. Setahun kemudian, persaingan berjalan lebih ketat meski Federer tak tergeser dari podium juara. Nadal mencuri dua set. Kekalahan itu membuat Nadal menangis selama lebih dari satu jam di ruang ganti.
Final 2008 akhirnya menjadi puncak persaingan di turnamen tenis tertua itu. Nadal menang dalam laga yang dihentikan dua kali karena hujan dan hampir dilanjutkan keesokan harinya karena cuaca terlampau gelap. Saat itu, belum ada lapangan beratap di All England Club. Mantan petenis nomor satu dunia, John McEnroe, menyebut laga itu sebagai pertandingan terbaik yang pernah ditontonnya.
Final penuh drama itu juga menginspirasi terbitnya buku yang ditulis jurnalis olahraga, Jon Wertheim, dengan judul “Strokes of Genius”. Buku itu, kemudian, melahirkan film dokumenter dengan judul sama.
Evolusi Federer-Nadal
Setelah final itu, Federer dan Nadal menambah rekor demi rekor dalam perjalanan karier mereka. Federer disebut sebagai petenis terbaik sepanjang masa (greatest of all time/GOAT) setelah meraih gelar Grand Slam ke-20 ketika juara di Australia Terbuka 2018. Nadal menjadi petenis pertama yang 12 kali menjuarai sebuah turnamen ketika menjadi yang terbaik di Perancis Terbuka, Juni lalu.
Prestasi tersebut memotivasi mereka untuk berbuat lebih baik dari yang lain. “Senang sekali bisa kembali bertemu di sini setelah 11 tahun. Ini sangat berarti bagi saya, mungkin bagi Roger juga,” kata Nadal.
Nadal sebenarnya diragukan untuk bersaing hingga ke babak-babak akhir Wimbledon. Dia didera cedera lutut yang membuatnya tak tampil maksimal di wilayah kekuasaannya, lapangan tanah liat. Nadal hanya menjuarai Roma Masters dan Perancis Terbuka, alih-alih 3-4 gelar turnamen tanah liat yang biasa didapatnya.
Rafa bisa menyulitkan semua orang di lapangan mana pun
Namun, Nadal menunjukkan “rasa lapar”, untuk juara di luar teritorinya, saat tampil di All England Club. Servisnya kian akurat untuk menghasilkan as, serangan dari groundstroke-nya sulit dibendung, dia juga lebih sering ke depan net untuk memvariasikan serangan. Cara bermain untuk memperpendek perebutan poin itu ditekankan pelatihnya, Carlos Moya, seiring bertambahnya usia juara Wimbedon 2008 dan 2010 itu.
Federer, yang meraih kemenangan ke-100 di Wimbledon saat mengalahkan Kei Nishikori di perempat final, mengakui perkembangan Nadal di lapangan rumput dalam dua musim terakhir. Padahal, Nadal tak pernah melampaui babak keempat pada lima keikutsertaan sebelumnya.
“Akan sulit untuk mengalahkannya. Rafa bisa menyulitkan semua orang di lapangan mana pun. Dia tak hanya spesialis tanah liat,” kata Federer yang mengejar gelar kesembilan di Wimbledon.
Sang maestro asal Swiss itu juga takjub dengan fakta bahwa dia bisa bertemu lagi Nadal di Wimbledon. “Setelah Rafa juara 2008, banyak yang mengatakan, dia telah selesai. Serupa ketika saya juara 2009. Namun, kami masih di sini,” ujarnya.
Persaingan mereka masih akan terus berlangsung
Wertheim dan mantan petenis, Tommy Haas, mengatakan, Federer dan Nadal tak hanya menjadi partisipan dalam persaingan tenis putra saat ini. Mereka juga masih bisa bersaing di level atas.
“Persaingan mereka masih akan terus berlangsung. Federer dan Nadal telah membawa nama masing-masing ke puncak prestasi dengan cara masing-masing dan membuat tenis semakin menarik,” ujar Wertheim.
Lapangan Utama Wimbledon, yang akan menjadi panggung persaingan semifinal, Jumat ini, telah berubah dengan dipasangnya atap. Namun, hasrat dan cinta Federer dan Nadal pada tenis tak berubah dibandingkan 11 tahun lalu.