Pasar Energi Surya: Antara Gairah dan Belenggu
Berdiri di terik surya yang menyengat di atap rumah, wajah beberapa pekerja malah tampak semringah. Panasnya sinar mentari justru menyembulkan harapan akan keberlangsungan hidup mereka. Di atas atap ini, di perkotaan yang padat, mereka memasang alat pemanen energi matahari.
Mereka adalah pekerja-pekerja dari ATW Solar, perusahaan yang berbisnis di bidang desain, engineering, dan instalasi panel tenaga surya. Mereka sedang memasang panel-panel surya untuk menangkap sinar matahari menjadi energi listrik. Teknologi yang mereka terapkan tampak lebih maju dengan menggunakan sistem On-Grid dalam mengubah tenaga surya menjadi listrik tanpa menggunakan baterai. Sistem On-Grid mengintegrasikan arus keluar masuk energi dengan jaringan PLN. Lewat metode dan perangkat meter ekspor-impornya, penyerapan energi matahari dapat terserap maksimal.
”Model ini sudah tidak lagi menggunakan baterai untuk menyimpan energi matahari. Harga baterai yang cukup mahal akan membuat biaya instalasi tinggi, selain itu juga perlu penggantian selama periode tertentu. Baterai juga hanya dapat menyimpan sesuai kapasitasnya. Sementara lewat smart inverter yang terintegrasi dengan PLN, pengguna dapat menyimpan energi tanpa batas dan memanfaatkannya ketika diperlukan,” kata Direktur ATW Solar Paulus Adi Wahono pada Oktober 2017.
Peluang bisnis
Meningkatnya perhatian terhadap penggunaan energi terbarukan sekaligus mengurangi efek rumah kaca akibat emisi gas buangan CO2, menjadi perhatian yang cukup serius tidak saja bagi pemerhati lingkungan, tetapi juga pemerintah dan kalangan pengusaha. Pemerintah mengeluarkan peraturan yang memberi peluang bagi masyarakat untuk menjual energi sinar matahari (fotovoltaik) kepada PLN.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2012 tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik menyebut bahwa PLN wajib membeli tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dari BUMN, BUMD, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat guna memperkuat sistem penyediaan tenaga listrik setempat.
Bagi kalangan pengusaha, kewajiban PLN untuk mampu menyediakan sumber energi terbarukan dalam suplai listrik merupakan peluang membentuk bisnis baru yang menjanjikan. Pasar energi yang begitu besar juga menjadi sangat menarik bagi perusahaan skala menengah yang bergerak di hilir memadukan antara kebutuhan konsumen listrik dan PLN. Mengubah paradigma konsumen dari pengguna listrik sekaligus menjadi produsen, atau pengimpor energi listrik menjadi pengekspor energi surya, kini bukan hanya bersifat ideologis, melainkan juga dapat diterjemahkan sebagai bisnis baru.
Bagi konsumen, meskipun secara individual belum dapat menjual energi secara langsung kepada PLN, sistem penyimpanan energi seperti ini sudah cukup membantu pengguna mengurangi pemakaian listrik secara signifikan.
Hingga kini, memang belum ada mekanisme yang memungkinkan pelanggan PLN, yang secara swadaya mengusahakan energi listrik lewat panel surya di rumahnya, menjual kepada PLN dengan imbalan berupa uang.
Yang baru dilakukan adalah sistem barter antarenergi. Berbeda dengan sejumlah negara lain, seperti Perancis, Jerman, dan Jepang yang sudah menggunakan sistem feed in tariff, yaitu dapat menukarkan besaran energi yang disuplai solar panel menjadi nilai uang. Lewat model yang berlaku di Indonesia, masyarakat dapat mengakumulasikan produksi tenaga matahari yang sudah diubah menjadi arus listrik ke PLN dan menyimpannya di sana. Jika diperlukan, baru disuplai kembali kepada pelanggan.
Pelanggan tetap akan membayar harga abonemen sesuai daya yang terpasang di rumahnya, dan mendapat jatah listrik PLN sesuai besaran abonemen. Jika pemakaian per bulan ternyata melewati jatah maksimal listrik sesuai daya terpasang, barulah pelanggan akan mendapatkan suplai listrik dari tabungan energi yang tersimpan di PLN. Dengan demikian, sistem ini baru berlaku sebatas kepada pelanggan listrik PLN.
Bagi PLN sendiri, suplai energi terbarukan dari masyarakat akan mengurangi besarnya beban PLN mencapai target yang ditetapkan pemerintah dalam mengusahakan energi terbarukan sebagai sumber energi listrik. PLN pun kemudian menerbitkan aturan main suplai energi dari pelanggan.
Sebagaimana dinyatakan lewat Peraturan Direksi PT PLN (Persero) Nomor 0733.K/DIR/2013 tentang Pemanfaatan Energi Listrik dari Fotovoltaik oleh Pelanggan PT PLN (Persero), fotovoltaik milik pelanggan yang dipasang dan diletakkan di atas bangunan milik pelanggan diperkenankan dioperasikan secara paralel dengan sistem ketenagalistrikan PLN.
Peraturan itu juga menegaskan bahwa dalam hal energi listrik yang diterima PLN dari fotovoltaik yang dikirim pelanggan lebih besar daripada energi yang dikirim PLN, maka selisihnya menjadi deposit kWh untuk diperhitungkan pada bulan-bulan berikutnya.
Dari monopoli ke pasar bebas
Jika pada UU No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan usaha untuk penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan badan usaha milik negara, 12 tahun kemudian, lewat UU No 30/2007 tentang Energi, mulai ada perubahan. Penyediaan listrik tidak lagi dimonopoli negara, tetapi juga dapat dilakukan oleh badan lain, termasuk perseorangan.
Upaya untuk mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) juga mulai muncul. Pasal 20 Ayat (5) UU No 30/2007 menyatakan, penyediaan energi dari sumber EBT yang dilakukan badan usaha dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan/insentif dari pemerintah. Kemudian, pada Pasal 21 Ayat (2) menegaskan, pemanfaatan EBT wajib ditingkatkan pemerintah.
Semangat baru untuk mewujudkan penyediaan listrik dari sumber terbarukan ini kemudian diikuti keluarnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 31/2009 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Listrik yang Menggunakan Energi Baru Terbarukan Skala Kecil dan Menengah atau Kelebihan Tenaga Listrik.
Permen ESDM ini mengatur tentang kewajiban PT PLN untuk mengusahakan listrik dari EBT, serta menetapkan harga pembelian listrik dari BUMN, BUMD, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat. Setelah itu, dinamika dalam pembenahan peraturan pun terus terjadi seiring dengan pertumbuhan produksi dan pemanfaatan EBT.
Pemerintah lalu menargetkan capaian EBT untuk jangka menengah dan panjang lewat keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Di sana disebutkan, pada tahun 2025 peran EBT paling sedikit 23 persen dan pada tahun 2050 paling sedikit 31 persen dari total bauran energi primer.
Sampai dengan triwulan II-2017, realisasi energi terbarukan dalam bauran energi untuk pembangkit listrik mencapai 13,2 persen. Dari realisasi itu, porsi terbesar berupa tenaga hidro, yakni 8,01 persen. Konsumsi energi baru terbarukan di Indonesia pun tumbuh pesat, mencapai 7,1 persen tahun 2016, tertinggi dalam 10 tahun terakhir yang rata-rata 4,7 persen.
Dalam hal tenaga surya, menurut catatan The Renewable Energy Policy Network for the 21st Century (REN21), Indonesia menargetkan pada tahun 2020 kapasitas terpasang energi surya akan mencapai 5 GW. Target ini cukup membuat pembangunan proyek EBT menjadi bergairah. Instalasi-instalasi baru dari proyek energi terbarukan mulai dibangun.
Problem pengembangan
Ketidakpastian harga jual EBT kepada PLN tampaknya akan menjadi problem utama pengembangan ke depan. Perubahan-perubahan harga jual mengindikasikan kegamangan pemerintah terhadap kemungkinan membeludaknya pasokan energi. Setidaknya, sejak 2012 hingga kini sudah ada tiga skema pembelian pasokan EBT dari swasta atau lembaga lain, yang dapat berpengaruh pada pengembangan EBT.
Dalam Permen ESDM No 4/2012 Pasal 2 diatur tentang harga pembelian tenaga listrik sesuai level interkoneksi dan wilayah pembelian. Dalam Pasal 5 (1) bahkan disebutkan bahwa PT PLN (Persero) dapat melakukan pembelian tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah dari BUMN, BUMD, swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dengan harga melebihi harga sebagaimana dimaksud Pasal 2.
Ketentuan tentang harga itu kemudian diubah lewat Permen ESDM No 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Sistem harga pembelian yang semula ditetapkan berdasarkan wilayah kini berdasarkan nilai biaya pokok penyediaan (BPP).
Dalam Pasal 5 Ayat (3) disebutkan bahwa harga pembelian tenaga listrik paling tinggi sebesar 85 persen dari BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat jika BPP Pembangkitan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan nasional.
Lalu, dalam Ayat (4), ”Dalam hal BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP Pembangkitan nasional, harga pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.”
Kemudian, model pembelian itu kembali berubah setelah keluarnya Permen ESDM No 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kalau sebelumnya pembelian EBT menggunakan sistem lelang berdasarkan kuota kapasitas, kemudian menjadi pemilihan langsung berdasarkan kapasitas.
Di dalam Pasal 5 Ayat (2) Permen ESDM itu disebutkan, ”Pembelian tenaga listrik dari PLTS Fotovoltaik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung berdasarkan Kuota Kapasitas.”
Perubahan-perubahan tersebut dianggap para pelaku usaha di bidang EBT tidak berdampak signifikan terhadap upaya pengembangan, bahkan kian membelenggu. Pada umumnya mereka mengeluhkan tentang ketidakpastian harga, panjangnya rantai birokrasi yang harus dilalui, dan skema build, own, operate, transfer (BOOT) yang diterapkan.
Dalam Permen ESDM No 50/2017 ini, harga yang disepakati PLN dan produsen listrik swasta harus mendapat persetujuan Menteri ESDM, membuat prosedur birokrasi lebih panjang. Selain itu, produsen listrik swasta diwajibkan menggunakan skema BOOT, pembangkit listrik diserahkan kepada PLN begitu kontrak jual beli listrik habis.
Situasi kebijakan seperti ini, bisa jadi, akan membekukan hangatnya pertumbuhan kapasitas produksi dan pemakaian EBT yang sudah merekah pada tahun-tahun sebelumnya. Jika itu terjadi, langkah mencapai target tahun 2025 dan 2050 akan terbelenggu. (Litbang Kompas)