Pembangunan infrastruktur yang masif tidak serta-merta turut mengembangkan dunia konstruksi dalam negeri. Pelaku usaha memerlukan keberpihakan pemerintah untuk membentuk rantai pasok dunia konstruksi yang andal.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan infrastruktur yang masif tidak serta-merta turut mengembangkan dunia konstruksi dalam negeri. Pelaku usaha memerlukan keberpihakan pemerintah untuk membentuk rantai pasok dunia konstruksi yang andal.
Hal itu terungkap di dalam diskusi ”Evaluasi Rantai Pasok Jasa Konstruksi” yang diselenggarakan Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), Kamis (11/7/2019), di Jakarta. Forum itu dihadiri asosiasi jasa konstruksi ataupun asosiasi produsen terkait konstruksi.
Untuk pembangunan infrastruktur, pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar setiap tahunnya. Pada 2015, anggaran untuk infrastruktur Rp 256,1 triliun, kemudian menjadi Rp 269,1 triliun pada 2016, dan Rp 388,3 triliun pada 2017. Pada 2018, alokasi anggaran naik menjadi Rp 410,7 triliun dan tahun ini Rp 415 triliun.
Ketua Umum Himpunan Ahli Kontrak Konstruksi Indonesia Yusid Toyib mengatakan, rantai pasok ada untuk menciptakan produk akhir yang berkualitas. Dalam konteks proyek pemerintah, yang mesti diperhatikan adalah permintaan pemerintah yang dituangkan di dalam kontrak.
”Misal pemerintah meminta tingkat komponen dalam negeri. Di kontrak selama ini tidak jelas. Kalau aturannya ada, kami lebih gampang,” kata Yusid.
Kontrak yang jelas tersebut perlu didukung dengan aturan teknis sebagai pelaksanaan Undang-Undang Jasa Konstruksi. Agar lebih adaptif, diperlukan aturan pelaksanaan setingkat menteri yang terbit setiap tahun terkait dengan fokus pembangunan di tahun tersebut, misalnya anjuran untuk penggunaan baja konstruksi.
Direktur Utama PT Krakatau Wajatama Osaka Steel Marketing Teguh Sarwono mengatakan, saat ini ada berbagai jenis produk besi atau baja yang beredar di pasar. Selain produk dalam negeri, ada juga produk impor.
Di sisi lain, total kapasitas produsen besi dan baja masih lebih besar dari permintaan meskipun banyak pembangunan infrastruktur. Dengan kondisi tersebut, tingkat utilisasi produk-produk besi dan baja hanya 57 persen dari kapasitas terpasang.
”Memang lebih besar pasokan daripada permintaan. Maka, membuat kami harus banting-bantingan harga,” kata Teguh.
Akademisi dari Universitas Hasanuddin yang juga peneliti bidang konstruksi, Rosmariani Arifuddin, mengatakan, salah satu penyebab ketidakpastian di rantai pasok konstruksi adalah belum terbitnya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri sebagai aturan pelaksanaan.
Menurut Rosmariani, meskipun pembangunan infrastruktur besar, ”kue” tersebut lebih banyak dinikmati badan usaha milik negara (BUMN) karya. Dari penelitiannya, untuk total anggaran infrastruktur pada 2016, hanya 24 persen penyedia jasa konstruksi yang mendapatkan proyek dari total 119.235 badan usaha. Proyek-proyek besar lebih banyak diperoleh BUMN, sementara penyedia jasa konstruksi swasta kebanyakan berkualifikasi menengah dan kecil.
Meski demikian, lanjut Rosmariani, pembangunan infrastruktur merata di Indonesia, termasuk di Papua. Namun, tenaga ahli dan tenaga kerja terampil terkonsentrasi di Jawa. Maka, mereka mesti dipindahkan ke lokasi proyek yang itu berarti penambahan beban atau biaya.
Produk lokal
Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Didi Iskandar Aulia mengatakan, agar rantai pasok dalam negeri kuat, pelaku usaha meminta pemerintah memberikan proteksi terhadap produk lokal. Selain itu, diperlukan insentif agar pelaku usaha lokal dapat semakin berkembang.
Proteksi diperlukan agar pemain lokal dapat berkembang karena berkompetisi dengan pelaku yang setara. Selain itu, proteksi juga perlu untuk menahan serbuan produk asing.
”Contoh, produk asing bebas masuk ke Indonesia, sementara ketika produk kita keluar (ekspor), malah terkena 25 persen. Maka, perlu minta proteksi dan insentif ke pemerintah,” ujar Didi.
Senior Advisor Sekretaris Jenderal Asosiasi Semen Indonesia Sudaryanto mengatakan, pada akhir 2018, kapasitas produsen semen Indonesia mencapai 110 juta ton. Adapun konsumsi dalam negeri sekitar 70 juta ton dalam setahun. Kapasitas produksi yang lebih besar dibandingkan dengan permintaan masih akan tetap terjadi sampai dengan 2024 meskipun dengan selisih yang semakin mengecil. (NAD)