Pemerintah akan Pertemukan Pengusaha Indonesia dan Filipina
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara bersama pemerintah pusat akan mempertemukan para eksportir dan importir dari Indonesia dan Filipina untuk menyepakati detail jalur perdagangan Bitung-Davao.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara bersama pemerintah pusat akan mempertemukan para eksportir dan importir dari Indonesia dan Filipina untuk menyepakati detail jalur perdagangan Bitung-Davao. Pertemuan itu juga diharapkan menciptakan kontrak-kontrak kerja sama antarpengusaha demi memenuhi muatan kapal pengangkut komoditas ekspor-impor.
Kesimpulan ini mengemuka dalam rapat koordinasi tentang keberlanjutan konektivitas laut Bitung-Davao yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (12/7/2019), di Jakarta. Setelah dijanjikan akan aktif pada 17 Juni lalu, hingga kini belum ada komoditas ekspor Indonesia yang diangkut ke Filipina via Pelabuhan Bitung, Sulut.
“Selama ini belum jelas komoditasnya apa saja, eksportir dan importirnya siapa saja. Para pengusaha harus bertemu lebih dulu untuk membuat kontrak kerja sama demi mengisi load factor (muatan) kapal,” kata Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sulut Darwin Muksin, ketika dihubungi dari Manado.
Pertemuan antarpengusaha itu akan diadakan di Jakarta dengan prakarsa Konsulat Jenderal (Konjen) Indonesia di Davao dan Konjen Filipina di Manado. Darwin mengatakan, ini menunjukkan bentuk keseriusan pemerintah kedua negara untuk membuka dan memperlancar konektivitas perdagangan.
Ekspor dari Indonesia dengan MV Baltic Summer yang dioperasikan perusahaan Filipina, Multiport Maritime Corporation (MPMC), masih terhambat karena biaya pengiriman terlalu mahal, yaitu 1.600 dollar AS per peti kemas ukuran 20 kaki (TEU). Angka ini jauh lebih tinggi dari tarif 500-700 dollar AS yang berlaku pada 2017 saat jalur perdagangan ini pertama dibuka.
Karena itu, Pemprov Sulut dan kementerian terkait juga akan hadir dalam pertemuan tersebut untuk menyampaikan regulasi serta fasilitas perdagangan yang dapat diberikan. “Hambatan utama adalah karena biaya kontainer masih tinggi. Semua akan mulus kalau kedua pihak sama-sama menyetujui regulasi, load factor juga akan maksimal,” kata Darwin.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulut Daniel Pesik mengatakan, telah banyak pedagang yang meminati jalur ini, termasuk pedagang-pedagang kecil. “Ada pemasok jagung, kelapa, dan kopra dari luar Sulut seperti Gorontalo dan Ternate. Jalur ini dinilai sangat potensial,” katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Sam Ratulangi Noldy Tuerah mengatakan, hambatan yang menghadang jalur Bitung-Davao disebabkan kurangnya sosialisasi kepada pengusaha. Pemprov Sulut terburu-buru mengumumkan pembukaan rute perdagangan, tetapi tidak dibarengi persiapan regulasi yang matang.
“Para eksportir tidak bisa langsung percaya karena tidak ada kepastian. Seharusnya, ada sosialisasi lebih dulu untuk meningkatkan kepercayaan pengusaha,” kata Noldy. Kepastian itu bisa diberikan dengan mengumumkan biaya pelabuhan. Selain itu, jadwal kedatangan kapal serta lama kapal bersandar juga perlu diperjelas.
Berdasarkan hasil rapat di Jakarta, pemerintah Indonesia sudah siap memberikan kemudahan berdagang bagi pengusaha Filipina. Insentif potongan biaya pelabuhan sebesar 50 persen di Pelabuhan Bitung telah disediakan PT Pelindo IV bagi MV Baltic Summer yang berkapasitas maksimal 250 TEU.
Keluhan MPMC tentang tingginya harga biosolar B20, yakni 655 dollar AS per metrik ton, pun dapat diatasi. Pertamina bersedia membebaskan bahan bakar dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen. Darwin mengatakan, Pemprov Sulut juga kemungkinan besar menyetujui pemberian insentif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) hingga 0 persen.
“Kami akan lihat untung-ruginya. Tapi, kemungkinan besar Pak Gubernur Sulut (Olly Dondokambey) akan menyetujui khusus untuk MV Baltic Summer,” kata Darwin.
Produk hortikultura dari Davao dan Mindanao Selatan, seperti pisang dan bawang merah, telah diberi sertifikat area bebas hama (PFA) sehingga dapat masuk dengan bebas ke Pelabuhan Bitung. “Pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan hub internasional juga sudah bisa menjadi pintu masuk produk hortikultura berdasarkan kesepakatan kementerian terkait dan Balai Karantina Pertanian,” kata Darwin.
Adapun permintaan agar Indonesia mengalokasikan impor beras dari Vietnam bagi wilayah Indonesia Timur masih dirundingkan. Cadangan beras Bulog saat ini masih 2,9 juta ton hingga Desember 2019.
Sementara itu, Noldy mengatakan, insentif sangat penting untuk memopulerkan rute dagang yang baru dibuka. Insentif seperti pemotongan biaya pelabuhan, sekalipun tidak banyak, akan membuat pengusaha merasa diperhatikan sehingga ekspor terdongkrak.
Ada kapal kita yang berlayar sampai Miangas. Kenapa kapal itu tidak diizinkan berlayar saja sampai Davao yang hanya berjarak 3 jam perjalanan?
Di lain pihak, Daniel Pesik mengatakan, ketergantungan Indonesia pada kapal asing menghambat ekspor, terutama komoditas yang dijual oleh pedagang kecil. Menurut dia, pemerintah seharusnya mendorong ekspor dengan kapal feri, misalnya milik PT ASDP.
“Ada kapal kita yang berlayar sampai Miangas. Kenapa kapal itu tidak diizinkan berlayar saja sampai Davao yang hanya berjarak 3 jam perjalanan? Para pedagang kecil yang hanya punya sedikit barang bisa ikut naik ke sana dan menjual secara asongan di luar negeri. Ini sudah kita lakukan sekitar awal tahun 2000-an,” kata dia.