JAKARTA, KOMPAS – Aktivitas tambang terbuka yang membuka tutupan hutan serta mengubah lanskap tanpa pengaturan hidrologi yang baik bisa menimbulkan bencana banjir dan kekeringan pada ekosistem setempat. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan agar kewajiban reklamasi pasca tambang setelah perusahaan selesai mengambil mineral-mineral berharga, segera dilakukan.
Bila kewajiban ini tak dijalankan, lahan yang dibiarkan terbuka tersebut kehilangan fungsi sebagai pengendali hidrologi alam. Ini bisa menyebabkan berbagai bencana yang nilai dampaknya bagi masyarakat akan jauh lebih besar dari pendapatan maupun pajak yang diraih perusahaan dan pemerintah.
“Kalau selesai tambang hrus betul-betul rekalamsi dan menghutankan kembali. Tanpa itu akan terjadi (bencana banjir) yang dialami Konawe dan Samarida serta daerah lain. Inilah masalah bersama yang dihadapi bersama-sama dan diselesaikan bersama-sama,”kata Jusuf Kalla, Wakil Presiden Republik Indonesia, Kamis (11/7/2019) di Jakarta, saat membuka Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.
Kalau selesai tambang hrus betul-betul rekalamsi dan menghutankan kembali. Tanpa itu akan terjadi (bencana banjir) yang dialami Konawe dan Samarida serta daerah lain.
Pada awal pidatonya, Jusuf Kalla mengajak ratusan hadirin untuk berefleksi atas berbagai kejadian bencana di dalam negeri dan luar negeri. Ia mencontohkan banjir di Washington Amerika Serikat, cuaca panas di Eropa, dan kekeringan di sejumlah negara.
Bencana itu pun juga terjadi di Indonesia akhir-akhir ini seperti banjir di Konawe Sulawesi Tenggara dan Samarinda Kalimantan Timur dan kekeringan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bencana ini langsung dirasakan sehingga memiliki efek besar dalam kehidupan manusia.
Lebih lanjut Jusuf Kalla menarasikan bila bencana-bencana tersebut erat kaitannya dengan keberadaan hutan. “Banjir dan kekeirngan adalah dua hal yang penyebabnya satu, yaitu masalah hutan, akibat berkurangnya luas hutan kita,” kata dia.
Ia menyebutkan hutan adalah “penengah” dari kedua hal banjir dan kekeringan. Maksud Wapres, kalau hutan kurang, saat terjadi hujan, air tak mampu diserap hutan. Demikian saat musim kemarau, hutan tak lagi menyimpan air sehingga kehilangan sumber-sumber air.
“Hutan adalah sumber utama untuk memperbaiki lingkungan di samping hal-hal lain,” kata dia.
Jusuf Kalla lalu mengajak hadirin untuk melihat bencana banjir di Konawe dan Samarinda. Kesamaan kedua daerah ini yaitu sama-sama daerah tambang yang berada di wilayah hutan. “Konawe habis karena ditambang untuk nikel, Samarinda untuk batubara. Maka banjirlah Samarinda, banjirlah Konawe,”tuturnya.
Unsur ekonomi
Karena itu, Kalla mengingatkan bahwa unsur ekonomi harus jadi bagian utama untuk membatasi kerusakan yang terjadi pada rakyat banyak. Bisa jadi selama ini, lanjut dia, pajak yang diterima pemerintah dan pemda tidak sebesar daripada kerusakan yang dirasakan rakyat akibat kerusakan lingkungan.
Wapres pun mengajak masyarakat bersama-sama pemerintah dan pemerintah daerah untuk memperbaiki kondisi ini. Pekerjaan rumah bagi pemerintah dan pemerintah daerah ditekankannya yaitu harus bekerja keras untuk menjalankan sistem izin. Diantaranya, bila perusahaan selesai menambang suatu area agar betul-betul diawasi supaya menjalankan kewajiban reklamasi dan penghutanan kembali.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan per Juni 2019, menerbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pertambangan seluas 663.127 hektar (ha). Terkait perkembangan pemenuhan kewajiban reklamasi, data KLHK per April 2019, pemegang IPPKH menjalanknya seluas 31.3512,67 hektar atau 37,75 persen dari total luas lahan yang dibuka seluas 83.467,74 ha.
Rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) baru 50.827,65 ha (18,19 persen) dari luas total rehabilitasi DAS 527.984,32 ha. Reboisasi lahan kompensasi baru 151,82 ha (1,39 persen) dari luas lahan IPPKH wajib reboisasi kompensasi 10.789,09 ha.
Terkait pengurangan luasan hutan ini, sehari sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan pada 2017-2018, deforestasi tercatat 0,44 juta ha. Ini berarti laju deforestasi terus menurun selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada 2014-2015 deforestasi tercatat 1,09 juta ha, kemudian turun menjadi 0,63 juta ha pada periode 2015-2016, dan kembali turun menjadi 0,48 juta ha pada periode 2016-2017.
Hal ini dicapai karena sejak 2011 Indonesia melakukan moratorium pemberian izin pengelolaan hutan alam dan lahan gambut lewat penerbitan instruksi presiden dan diperkuat sejak 2015. Pemerintah juga mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penangguhan dan Evaluasi Perizinan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit.
Setelah memerhatikan efektivitas dan fundamentalnya kebijakan moratorium pemberian izin baru pengelolaan hutan alam dan lahan gambut, Pemerintah Indonesia akan membuatnya permanen, sehingga ke depan tidak ada lagi izin baru untuk pengelolaan hutan alam dan lahan gambut. “Itulah salah satu langkah korektif pengelolaan sumber daya alam Indonesia menuju pertumbuhan hijau,” kata Siti.