Film ”Jalan Masih Panjang” untuk Penyemangat Korban
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Jakarta meluncurkan film berjudul “Jalan Masih Panjang”, Sabtu (13/7/2019). Film ini dihadirkan untuk menyemangati penyintas kekerasan bahwa keadilan bisa didapatkan.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau LBH APIK Jakarta meluncurkan film berjudul Jalan Masih Panjang, Sabtu (13/7/2019). Film berdurasi 20 menit itu mendokumentasikan perjuangan tiga perempuan korban kekerasan seksual untuk memperoleh keadilan. Film tersebut dihadirkan guna menyemangati penyintas kekerasan bahwa keadilan bisa didapatkan.
”LBH APIK mengambil judul Jalan Masih Panjang itu dari salah satu kutipan penyintas dalam film itu. Biasanya, kasus pelecehan seksual enggak bisa dibuktikan karena enggak ada visum fisik. Kami ingin mendorong supaya ada visum psikiatrikum. Jadi, kondisi psikis korban dan pengalaman traumatis yang dia terima (dapat dijadikan alat bukti),” tutur Direktur LBH APIK Siti Mazuma di kantornya di Jakarta Timur, Sabtu (13/7/2019).
Meskipun perjuangan mendapat keadilan tidak mudah, Zuma mendorong korban untuk tidak takut menyuarakan kekerasan. Dengan bersuara, komunitas sekitar dan korban lain termotivasi untuk berani memperjuangkan hak mereka. ”Mereka perlu tahu bahwa mereka tidak sendirian. Langkah itu tidak mudah, tetapi bersama-sama kita bisa merebut keadilan,” lanjutnya.
Dalam film Jalan Masih Panjang, ketiga korban kekerasan seksual yang dikisahkan berhasil meraih keadilan. Para pelaku diberikan hukum yang cukup sesuai dengan tindakan kekerasannya.
Pelangi, salah satu korban yang dikisahkan dalam film itu, mengalami pelecehan seksual pada 2014 di halte Transjakarta oleh empat petugas Transjakarta. Dalam kasus itu, pelaku dikenai hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan dipecat dari pekerjaannya. Hukuman itu dianggap cukup baik karena pelaku pelecehan pada umumnya hanya divonis hukuman percobaan dan tidak dipenjara.
Matahari, korban lain yang merupakan perempuan penyandang disabilitas intelektual, mengalami pemerkosaan pada 2016 oleh gurunya yang merupakan wakil kepala sekolah luar biasa di Depok. Penanganan kasus itu cukup unik dan dianggap sebagai sebuah terobosan.
Majelis hukum menjalankan sidangnya di ruang perpustakaan, melepas atribut persidangan, menggunakan bahasa daerah, dan mengeluarkan terdakwa dari ruang sidang sehingga Matahari merasa nyaman dan mau berbicara. Terdakwa dijatuhi hukuman penjara 9 tahun.
Penanganan kasus kekerasan seksual dapat berlangsung hingga satu tahun atau lebih. LBH APIK merupakan salah satu lembaga sosial yang memberikan bantuan atau pendampingan hukum secara gratis kepada perempuan dan anak yang mengalami ketidakadilan, kekerasan, dan berbagai bentuk diskriminasi lain. Setelah kasus hukum selesai, LBH APIK tetap mendampingi korban dalam melalui masa traumanya.
”Ada Forum Suara Penyintas dan upaya penguatan terhadap para korban setiap bulan. Kami juga merujuk mereka kepada psikolog karena kita tahu perjalanan itu sangat panjang dan melelahkan sekali,” lanjut Zuma.
Pada kasus Pelangi, misalnya, ia masih mengalami trauma hingga sekarang akibat pelecehan seksual yang ia alami. ”Karena sperma itu putih, jadi dia sampai enggak berani minum susu dan makan nasi,” ucap Zuma.
Pada 2018, LBH APIK menerima sebanyak 837 pengaduan kasus kekerasan berbasis jender atau lebih banyak dibandingkan tahun 2017 yang jumlah pengaduannya 648 kasus. Pada 2018, beberapa jenis kekerasan yang paling sering ditangani adalah kekerasan dalam rumah tangga (275), perdata keluarga (180), kekerasan dalam berpacaran (67), ketenagakerjaan (66), dan kekerasan seksual (65).
Dari 65 kasus kekerasan seksual yang ditangani pada 2018, jumlah kasus melibatkan korban anak cukup tinggi atau sebesar 29. Beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak itu mengalami kendala. Ada yang proses hukumnya tidak berjalan dan ada yang diberikan surat penghentian penyidikan (SP3).
Aturan hukum di Indonesia terkait kekerasan seksual masih terbatas. Pada kasus yang dialami Pelangi, misalnya, meskipun tindakan pelaku dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya menganggapnya sebagai perbuatan cabul atau perbuatan yang melanggar kesopanan. Padahal, Pelangi dipaksa untuk melakukan seks oral dan dampak buruk terhadap psikologisnya berlangsung selama bertahun-tahun.
Dampingan atau dukungan dari komunitas sekitar berperan besar dalam membantu korban melalui masa traumanya dan berjuang untuk memperoleh keadilan. Matahari, misalnya, berhasil keluar dari traumanya berkat dukungan keluarganya. ”Mereka berjuang bersama supaya korban tidak sendirian. Supaya korban bisa ditemani dan dikuatkan,” ujar Zuma.
Terobosan hukum seperti yang diceritakan dalam film dokumenter Jalan Masih Panjang sangat dibutuhkan oleh korban dalam mencari keadilan. Selama tidak ada aturan yang mengikat, terobosan hukum hanya akan bergantung pada perspektif dan kebaikan aparat penegak hukum.