Jokowi Bertemu Prabowo, Politik Tak Ciptakan Disintegrasi
Dua calon presiden yang mengikuti kontestasi Pemilihan Umum Presiden 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, akhirnya bertemu tiga bulan setelah hari pemungutan suara. Pertemuan ini diharapkan tidak hanya dimaknai sebagai peristiwa simbolis, tetapi sebagai langkah nyata untuk mengatasi ketegangan akibat Pilpres 2019.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua calon presiden yang mengikuti kontestasi Pemilihan Umum Presiden 2019, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, akhirnya bertemu tiga bulan setelah hari pemungutan suara. Pertemuan ini diharapkan tidak hanya dimaknai sebagai peristiwa simbolis, tetapi sebagai langkah nyata untuk mengatasi ketegangan akibat Pilpres 2019. Masyarakat pun telah sadar bahwa politik tidak boleh menciptakan disintegrasi.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, mengatakan, pertemuan antara Jokowi dan Prabowo memang sangat penting untuk menurunkan ketegangan politik setelah proses pemilu yang panjang, khususnya bagi kalangan atau kelompok menengah.
Ketegangan akibat pilpres, kata Arie, memang lebih sering terjadi pada kelompok menengah. Kelompok dari elemen masyarakat ataupun politisi ini kerap memproduksi ketegangan dengan memanfaatkan media sosial dan forum-forum tertentu.
”Saya kira yang paling penting jangan sampai pertemuan ini dibaca hanya bagian dari sekadar simbolis transaksional. Jauh penting dari itu jangan sampai kelompok menengah ini kembali memproduksi ketegangan, tetapi harus mengatasi potensi konflik yang ada saat ini,” ujar Arie saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Selain itu, pertemuan ini juga diharapkan Arie dapat diikuti pendewasaan politik, terutama di kelompok menengah. Sementara ketegangan politik di level akar rumput dinilai Arie sudah cukup mencair setelah pemilu selesai.
”Kalau di akar rumput, seperti petani, nelayan, dan pedagang, sejauh yang saya amati tanpa adanya pertemuan antara Jokowi dan Prabowo pun mereka cepat untuk membaur. Hal ini karena masyarakat kita melihat politik tidak harus merusak kesadaran untuk menciptakan disintegrasi,” ujarnya.
Karena, masyarakat kita melihat politik tidak harus merusak kesadaran untuk menciptakan disintegrasi.
Jokowi dan Prabowo yang sama-sama menggunakan kemeja putih tersebut bertemu di Stasiun Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu. Setelah bertemu di MRT Lebak Bulus, mereka kemudian menggunakan MRT untuk menuju Stasiun Senayan dan berjalan kaki ke FX Sudirman untuk bersantap siang bersama.
Saat memberikan keterangan pers, baik Jokowi maupun Prabowo mengharapkan para pendukung untuk menghentikan perselisihan atau pertikaian karena pilpres. Mereka juga mengimbau kepada semua masyarakat agar bersatu padu untuk memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Tempat netral
Dipilihnya stasiun MRT sebagai tempat pertemuan antara Jokowi dan Prabowo dinilai oleh peneliti dan pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, sebagai tempat yang netral. Dia juga berpandangan bahwa stasiun MRT tidak menunjukkan simbol politik tertentu.
”Kalau pertemuan diselenggarakan di Istana Presiden, di Hambalang, atau di Kertanegara itu menunjukkan satu simbol kekuatan politik tertentu. Nantinya ini juga akan membuat salah satu orang menjadi powerfull dibandingkan dengan yang lain,” ujarnya.
Selain itu, pertemuan di stasiun MRT, lanjut Arya, juga dapat memicu euforia atau sinyal rekonsiliasi langsung kepada publik sebab Stasiun MRT merupakan salah satu fasilitas publik tempat masyarakat menjalankan aktivitasnya sehari-hari.