Sejumlah perempuan mau dijodohkan dengan warga China dan Taiwan demi memperbaiki ekonomi keluarga. Namun, itu justru membuat hidup mereka terpuruk.
Mereka baru sadar menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan atau kawin kontrak setelah mengalami penderitaan fisik, psikis, dan kekerasan seksual saat berada di Taiwan dan China.
F (31), warga Kota Singkawang, Kalimantan Barat, misalnya. Anak dari keluarga petani ini jadi korban pengantin pesanan dengan pria Taiwan pada 2005. Ia menerima tawaran ”makcomblang” menjadi pendamping pria Taiwan itu untuk memperbaiki ekonomi keluarganya.
Orangtuanya petani sayur dan buah di lahan sewaan. Hasilnya tak seberapa. Karena itu, saat dijanjikan mendapat banyak uang dari pria Taiwan, dia bersedia berangkat untuk dijodohkan. Sebelum berangkat, F menerima mahar Rp 3 juta dan bertunangan dengan calon suaminya. Tiga bulan kemudian, dia berangkat ke Taiwan.
Saat tiba di Taiwan, baru F menyadari kalau dirinya tertipu makcomblang. Ternyata, suaminya penganggur yang setiap hari mabuk-mabukan. Pria itu berutang untuk bisa pergi ke Singkawang. Karena itu, F bekerja di restoran untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, termasuk membayar utang suaminya. ”Saya tidak tahan, setiap hari penagih utang datang ke rumah,” tutur F, Minggu (7/7/2019).
Karena tidak tahan, pada 2018, dia pulang ke Singkawang dalam kondisi depresi, bahkan sempat hidup berkeliaran akibat gangguan jiwa. Ia menjalani pengobatan intensif dan saat ini dalam proses penyembuhan. Kini, ia tinggal bersama orangtua di rumah berdinding kayu yang disewa orangtuanya dan bekerja di kebun sayur.
Tak hanya F, ada korban lain yang kini dirawat di rumah sakit jiwa karena mengalami depresi sepulang dari Taiwan. Itu dialami PSF (34), asal Singkawang.
Ke China
Nasib serupa dialami korban-korban modus pengantin pesanan dengan pria dari China. Seperti yang dialami S (23), warga Mempawah, Kalbar, yang mau dijodohkan dengan pria China tahun 2017 karena ingin membantu orangtuanya yang saat itu kesulitan ekonomi.
Anak ketiga dari delapan bersaudara tersebut menerima tawaran karena ayah dan ibunya sakit. ”Mama sakit dan dirawat di rumah, papa dulu nelayan, tetapi lalu kena stroke. Sedangkan dua kakak saya bekerja, tapi tak cukup untuk membiayai keluarga. Lima adik masih kecil,” ujar S yang mengalami penyiksaan dari suaminya di China.
Kendati banyak perempuan jadi korban, praktik perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan terus terjadi di Kalbar. Setidaknya tiga tahun terakhir, puluhan perempuan dari Kalbar jadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) modus pengantin pesanan dengan pria China. Motivasinya karena ekonomi.
Akhir Juni 2019, dua perempuan—Y (22), warga Sambas, dan D (25), warga Pontianak— yang diantar seorang pria, Mo (20), diduga bagian dari jaringan TPPO, ditahan kepolisian saat tiba di Jakarta untuk mengurus visa ke China.
”Usaha orangtuaku di ambang bangkrut. Kami punya toko, tapi ibuku terlilit utang di bank, setiap bulan harus setor sekitar Rp 5 juta. Aku menawarkan diri karena ingin membantu orangtua,” ujar Y.
Mengapa mau ke China? Karena dijanjikan kehidupan lebih baik, terutama secara ekonomi. ”Nanti setelah menikah dan tinggal di China, aku bisa mengirim uang untuk orangtua. Calon suamiku katanya pengusaha bidang tekstil, punya rumah sendiri, dan mobil,” tutur Y.
Janji-janji manis itu membuat Y dan D setuju dijodohkan dengan orang China. Apalagi sebelum berangkat ke China, mereka menerima ”uang mahar” dan dipertemukan dengan calon suami, lalu dibuat acara pertunangan, makan-makan di restoran, atau diajak foto prewedding. Mereka juga mendapat uang mahar Rp 5 juta hingga Rp 25 juta.
Dari sejumlah korban, beberapa berhasil dipulangkan ke Indonesia setelah mereka meminta tolong Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) atau Kedutaan Besar RI di Beijing. ”Beberapa korban dipulangkan ke Indonesia dengan biaya swadaya dari SBMI,” tutur Mahadir, Ketua DPC SBMI Mempawah.
Saat korban pulang, menurut Mahadir, SBMI membawa mereka ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak daerah setempat agar mendapat pemulihan psikis dari berbagai trauma. ”Tapi, pemulihan itu tak dilakukan. Kami beberapa kali menanyakan, tapi dijawab tidak punya anggaran,” ujarnya.
Akhirnya, meski tak memiliki tim psikiater yang membantu pemulihan korban yang trauma, SBMI, menurut Mahadir, melakukan pendampingan terhadap korban melalui konseling. (EMANUEL EDI SAPUTRA/SONYA HELLEN SINOMBOR)