Metromini Terseok-seok di Ibu Kota
Sudah sejam lebih, Metromini trayek Pasar Minggu-Manggarai ngetem di samping Pasaraya Manggarai, Jakarta, Jumat (12/7/2018) siang.
Bus yang dikemudikan Ambon (28) baru dinaiki lima penumpang. Seorang pria paruh baya yang duduk di pojok belakang, seorang pelajar di kursi depan dekat supir, dan dua perempuan beserta seorang balita.
Kompas pun menaiki Metromini itu. Lalu duduk di bangku bagian tengah. Jangan berharap bangku yang empuk atau nyaman. Seluruh bangku hanya tersisa besi tanpa busa.
Badan bus pun telah banyak yang berkarat. Bagian yang didempul mulai retak dan pecah. Bahkan, pada lantai bus ada lubang berukuran kecil. Sampah plastik makanan berceceran di lantai.
"Ayo naik, ayo naik sebentar lagi berangkat," ucap Ambon kepada orang-orang yang berlalu-lalang.
Selang beberapa saat, sopir berambut ikal ini menyalakan mesin dan bersiap memberangkatkan penumpang. Metromini melaju pelan, kira-kira 20 kilometer per jam. Mata Ambon awas, melihat calon penumpang di trotoar.
Kaca penumpang dibuka lebar-lebar. Tujuannya hanya satu. Penumpang tidak kegerahan. Benar saja, angin sepoi-sepoi berhembus masuk ke bus di bawah terik siang itu.
Alung (20) sopir cadangan merangkap kernet berjalan perlahan ke masing-masing penumpang. Ia menagih ongkos. Penumpang dewasa membayar Rp 4.000, sedangkan penumpang pelajar dan anak-anak membayar Rp 3.000.
"Hei tayo, hei tayo, hei tayo," ujar Alung berusaha menghibur penumpang. Tidak ada pengamen yang menaiki Metromini ini.
Sepanjang perjalanan ada sepuluh penumpang lain yang naik. Seorang ibu dengan anak balitanya, empat orang pekerja swasta, dua orang mahasiswa, dan dua orang ibu-ibu yang membawa belanjaan.
"Udah sering naik Metromini. Tidak ribet karena bisa turun di pinggir jalan. Searah ke rumah juga," kata Abdul (16).
Ia beberapa kali mengipas-ngipas badan karena kegerahan. Ketika ditanya, ia menjawab tidak masalah.
Rina (32) yang membawa anaknya menuturkan, dia berusaha menyamankan diri di dalam Metromini. Ia tidak keberatan selama sopir tidak ugal-ugalan.
"Nyaman-nyamanin aja. Kalau sopir ugal-ugalan saya minta turun," Rina (32).
Ia sempat mengomeli anaknya yang membuang sampah sembarangan di bus dan melalui jendela. "Eh, jangan begitu (buang sampah), lain kali tidak boleh ya. Disimpan, nanti buang ke tong sampah," katanya.
Terseok
Alung mengatakan, bus ini terakhir kali diservis sekitar enam bulan lalu. Servis meliputi cat, dempul, dan mesin.
"Servis sekalian uji kir. Sekarang sudah tidak bisa uji kir. Tunggu dikandangin sama bos jadi besi tua," kata Alung.
Menurutnya, dalam waktu dekat Metromini tidak beroperasi karena kalah saing dengan moda transportasi sejenis yang lebih modern.
Sementara itu, Ambon mengatakan, dirinya berusaha bertahan sebisa mungkin. Petugas Dinas Perhubungan sering merazia sehingga dia harus kucing-kucingan.
"Sehari paling banyak dapat Rp 700.000. Nanti setoran Rp 250.000. Sisanya bagi dua termasuk makan dan rokok. Pas-pasan," katanya.
Dalam sehari, mereka menghabiskan uang Rp 50.000-Rp 100.000 untuk makan dua kali dan dua bungkus rokok. Pengeluaran akan semakin besar apabila menghabiskan waktu atau nongkrong bersama sopir lain.
Apabila setoran tidak mencapai target, mereka akan menombok dahulu dengan uang sendiri atau kelebihan hari sebelumnya. Jika masih kurang, maka kekurangan setoran akan dipenuhi di hari berikutnya.
Mereka tidak kehabisan akal, menyewakan bus jadi salah satu solusi. Selain terhindar razia, mereka mendapat keuntungan lebih banyak.
"Kalau ada yang sewa bus syukurlah. Setiap orang bayar Rp 4.000. Jumlah orang bebas selama bisa naik. Ada 27 bangku, sisanya berdiri," ucapnya.
Ambon dan Alung tidak bisa bergabung dengan Jak Lingko. Mereka memang bisa menyetir, tetapi tidak memiliki surat izin mengemudi atau SIM. Sementara syarat mutlak bergabung dengan Jak Lingko adalah punya SIM.
"Kalau Metromini siapa saja bisa bawa asalkan bisa nyetir," ucap Alung.
Mereka berdua tidak punya rencana apa-apa jika nantinya Metromini harus mati. Mungkin mereka akan kembali ke jalanan. Sebab Ambon dan Alung dulunya bergelut di jalanan yang keras.