Sepanjang 2010-2017, sebanyak 354 kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tuntas. Vonis hakim itu telah memiliki kekuatan hukum tetap. KPK menyandang rekor tak pernah kalah dan tak pernah salah dalam menangani kasus korupsi.
Namun, Selasa 9 Juli 2019, rekor KPK itu pecah. Terdakwa mantan Ketua BPPN Syafruddin Temenggung dilepaskan dari tuntutan hukum oleh Mahkamah Agung. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Syafruddin divonis 13 tahun penjara oleh tiga hakim. Pada tingkat banding, tiga hakim menambah vonis menjadi 15 tahun penjara. Di tingkat kasasi, MA melepaskan Syafruddin dari tuntutan hukum.
Jika dihitung dari hakim pertama, hakim banding, hingga hakim agung, tujuh hakim menyatakan Syafruddin bersalah. Dua hakim agung menyatakan Syafruddin dilepaskan dari tuntutan hukum. Namun, putusan pengadilan bertingkat bukanlah matematika.
Ketua Majelis Hakim Kasasi Salman Luthan, hakim agung yang digadang-gadang bisa menggantikan hakim agung Artidjo Alkostar yang sudah pensiun, kalah suara dengan dua hakim lain. Salman memperkuat putusan pengadilan banding. Sebaliknya, Syamsul Rakan Chaniago, yang sebelum menjadi hakim agung adalah advokat, berpendapat, tindakan Syafruddin bukan tindak pidana korupsi karena masuk dalam ranah hukum perdata.
Sementara hakim agung Mohammad Askin, yang sebelum menjadi hakim agung adalah pengajar ilmu hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar dan politisi Partai Amanat Nasional, berpendapat, tindakan Syafruddin masuk ranah hukum administrasi. Kalah suara, Syafruddin pun lepas!
Pimpinan KPK terkejut. ”Kami menghormati putusan itu, tapi KPK kaget karena putusan ini aneh bin ajaib,” kata Wakil Ketua KPK Laode Syarif, Selasa, 9 Juli 2019. Indonesia Corruption Watch menilai, putusan MA adalah dagelan hukum. Namun, ada pula suara kritis terhadap KPK. Seperti dikutip Antara, Rabu, 10 Juli 2019, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj berkomentar, ”KPK harus ditinjau kembali.”
Situasi KPK sedang tidak mudah. Lembaga yang sebenarnya tidak punya dukungan politik ini dalam posisi kurang menguntungkan. KPK hanya dapat dukungan publik dan sebagian LSM, tetapi dukungan itu mulai melemah.
KPK dikepung berbagai hal yang bisa menghambat atau melemahkan pemberantasan korupsi.
Ada beberapa hal yang mendukung gejala itu. Pertama, belum terungkapnya kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Novel Baswedan, 11 April 2017. Beberapa saat setelah kejadian, Presiden Jokowi berkomentar keras. ”Jangan sampai orang-orang yang memiliki prinsip dan teguh seperti itu dilukai dengan cara tidak beradab. Kekerasan seperti itu tidak boleh terulang lagi,” kata Presiden, seperti dikutip Kompas, 12 April 2017.
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dengan batas waktu enam bulan. Hasilnya telah dilaporkan ke Kapolri. Namun, siapa penyiram air keras terhadap Novel masih misteri. Anggota TGPF, Hendardi, hanya berucap, ada motif politik dalam kasus Novel.
Lingkungan kedua adalah pembahasan Rancangan KUHP di DPR. RKUHP akan dipaksakan disahkan oleh DPR 2014-2019. Dalam RKUHP ada sejumlah pasal yang bisa melemahkan pemberantasan korupsi. Tumpang-tindih pengaturan soal korupsi di UU Tindak Pidana Korupsi dan RKUHP bisa menghambat agenda pemberantasan korupsi.
Situasi ketiga adalah seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Motivasi para calon beragam, termasuk job seeker. Komisioner baru KPK mempunyai tugas mengonsolidasikan organisasi KPK. Eksistensi pekerja KPK kian kuat, sedangkan komisioner ganti tiap empat tahun. Melalui komisioner baru, wajah KPK ke depan akan ditentukan dengan dukungan politik yang akan melemah. Narasi terbelahnya KPK akan ikut melemahkan lembaga itu.
KPK merupakan tonggak penting dalam sejarah penting pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK telah mengubah wajah impunitas pejabat. Namun, ketika pengaruh KPK membesar, lembaga itu menghadapi kekurangan sumber daya manusia dan rentan terhadap serangan berbagai kelompok kepentingan.
Temuan Vishnu Juwono dalam buku Melawan Korupsi menyebutkan, hambatan dan perlawanan kelompok kepentingan dan badan penegak hukum menunjukkan, struktur sosial, politik, dan ekonomi yang ingin melanggengkan korupsi di Indonesia sebagian besar masih utuh. ”Salah satu sumber daya korupsi adalah eksistensi patronase ekonomi berkelanjutan yang membantu tokoh konservatif atau oligark melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang progresif,” tulisnya.
Dalam konteks sosial politik itulah, komitmen Presiden Jokowi sangat menentukan. Akankah pemerintahan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas pemerintahannya? Jika iya, Jokowi-Amin akan meninggalkan warisan berharga bagi negeri.