Penyesalan dan Pemaafan
Kita lanjutkan percakapan sebelumnya di ruang ini tentang penyesalan dan pemaafan. Teori keadilan restoratif mengajukan pandangan bahwa pelaku kejahatan dapat dicegah untuk mengulang tindakannya jika dapat ditumbuhkan hubungan antara korban dan pelaku serta emosi yang menghadirkan penyesalan dan pemaafan.
Saya menemukan laporan penelitian yang sangat komprehensif, yakni ”Restorative Justice: The Evidence” (2007), ditulis oleh Lawrence Sherman dan Heather Strang. Kedua penulis ini menelaah berbagai kajian mengenai keadilan restoratif yang dilakukan di Inggris ataupun yang ada laporannya dalam bahasa Inggris.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa keadilan restoratif dapat mengurangi kejahatan, tetapi kita harus memberikan perhatian terhadap karakteristik kasus yang berbeda-beda. Pembaca yang tertarik mempelajari soal ini lebih lanjut dapat mengunduh laporan itu di internet. Dalam kesempatan ini, saya mencuplik kisah dua perempuan yang menjalani keadilan restoratif.
Pelaku yang juga korban
Jauh di Inggris sana, dua perempuan duduk berhadapan. Yang lebih muda, Natalie, 21 tahun, berulang mengalami kejahatan. Ia diperkosa saat berusia 19 dan 21 tahun; sebelumnya dianiaya parah saat usia 8 tahun. Yang lebih tua, Carol, 56 tahun, dirampok di jalan, wajahnya diserang dengan botol hingga luka parah. Natalie adalah orang yang merampok dan menyerang Carol. Keduanya dipertemukan untuk membahas perampokan yang dilakukan Natalie dan dampaknya terhadap Carol.
Carol tidak pernah tahu bahwa Natalie adalah korban penganiayaan serta pemerkosaan dan Natalie juga tidak pernah berpikir bahwa ia telah menyebabkan Carol tidak mampu bekerja selama berbulan-bulan serta harus menderita gangguan stres pascatrauma serius akibat penyerangannya yang brutal.
Pertemuan dipandu oleh seorang polisi yang terlatih. Natalie mengaku saat itu ia butuh narkoba dan menunggu orang yang dapat dirampoknya agar dapat sesegera mungkin membeli dan mengonsumsi narkoba. Ketika ditanya apa dampak kejadian, Carol diam tak menjawab apa pun. Tetapi, anak perempuan Carol yang ikut dalam pertemuan menjelaskan betapa besar luka fisik dan psikis yang dialami ibunya yang adalah pencari nafkah dalam keluarga.
Nenek Natalie yang menemani cucunya sangat shock dan bertanya: ”Bayangkan ada seseorang melakukan seperti yang kamu lakukan kepada Carol ke saya.” Nenek Natalie tajam bertanya kepada cucunya. ”Kamu tega?”
Natalie bercucuran air mata menyampaikan penyesalannya. Ia berlutut di depan Carol meminta maaf. Carol diam saja tidak mau menatapnya. Fasilitator bertanya: ”Apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki luka yang sudah dibuat?” Anak perempuan Carol meminta Natalie untuk ikut program rehabilitasi bagi pencandu napza, yang lain mengusulkan Natalie ikut program pengelolaan kemarahan.
Carol masih saja diam seusai pertemuan. Saat orang mulai mengambil teh dan makanan kecil, ia tetap diam di kursinya. Tetapi, tiba-tiba ia memanggil dengan suara keras, ”Hei gadis muda, ke sini kamu!” Natalie menghampiri, Carol memegang tangannya, lalu mulai mendoakan agar hidup Natalie lebih baik.
Natalie menangis lagi dan berjanji akan memperbaiki hidupnya. Setelah pertemuan itu, kondisi psikologis Carol membaik dengan cepat. Sementara Natalie menjalani hukuman kurungannya.
Keadilan restoratif
Temuan dari berbagai kajian yang dipelajari Sherman dan Strang adalah bahwa keadilan restoratif menunjukkan dampak positif yang lebih nyata terhadap korban. Mungkin karena korban yang ketakutan, mengalami banyak kerugian, kehilangan keberdayaan, dan marah akibat kejahatan yang dialaminya memperoleh kesempatan untuk menyampaikan perasaannya.
Selain itu, juga ditemukan bahwa sering pelaku ternyata adalah juga korban atau orang yang menghadapi berbagai masalah berat yang tak dapat ditanggulanginya. Melalui kesempatan bertemu itu, ada perasaan lega serta kesediaan memberikan maaf. Dan, sekaligus perasaan berdaya korban dipulihkan kembali.
Sementara itu, penelitian menunjukkan situasi yang lebih kompleks pada pelaku kejahatan. Lebih banyak yang tidak mengulang lagi kejahatannya, tetapi ada pula yang tidak menunjukkan perubahan perilaku. Mengingat selama ini peradilan pidana yang biasa tidak menyentuh korban dan tidak jelas menghadirkan manfaat apa bagi korban, Sherman dan Strang menyimpulkan, tetap keadilan restoratif bermanfaat karena setidaknya jelas berdampak positif bagi korban.
Di Indonesia, konsep keadilan restoratif banyak digunakan untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan pelaku anak. Apabila dilaksanakan dengan hati-hati oleh fasilitator yang andal dan memiliki perspektif yang baik—termasuk dalam isu jender—mekanisme keadilan restoratif dapat diharapkan membantu mencegah berulangnya kejadian kejahatan oleh anak atau remaja.
Yang perlu menjadi pertanyaan: apakah kompleksitas persoalan di balik konsep keadilan restoratif sudah dipahami dengan baik? Apakah berdasarkan pemahaman itu, mekanisme keadilan restoratif telah dijalankan dengan baik?
Apabila tidak, keadilan restoratif hanya dijalankan sebagai suatu birokrasi baru tanpa kepedulian untuk memastikan efek positifnya bagi korban dan pelaku kejahatan. Bahkan, mungkin terjadi, keadilan restoratif tidak menghadirkan penyesalan dari pelaku karena yang diuntungkan adalah posisi tawar dari (lingkungan) pelaku yang lebih kuat dan berkuasa.
Apabila demikian halnya, korban tidak memperoleh keadilan dan makin merasa tak berdaya, sementara pelaku tidak belajar apa pun dari kesalahannya sehingga sangat mungkin akan mengulang tindakannya di masa-masa selanjutnya.