Persoalan unmet need, kematian ibu dan kekerasan berbasis jender tak akan pernah selesai selama perempuan tidak punya hak atas dirinya.
JAKARTA, KOMPAS—Kesepakatan Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) 1994 menjanjikan pemenuhan hak bagi perempuan guna memperoleh pendidikan dan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi. Namun hingga 25 tahun program itu berjalan, banyak hak perempuan belum terpenuhi.
Untuk mempercepat pemenuhan janji ICPD 1994, dalam rangka Hari Kependudukan Dunia 2019, negara-negara di seluruh dunia dan Badan Kependudukan Dunia (UNFPA) fokus pada tiga masalah utama untuk diakhiri. Target yang disebut \'tiga nol\' itu ingin mengakhiri kebutuhan pemakaian kontrasepsi yang tak terpenuhi (unmet need), kematian ibu melahirkan serta kekerasan dan praktik berbahaya pada perempuan.
Direktur Advokasi dan Program Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Frenia Nababan di Jakarta, Jumat (12/7/2019) mengatakan sulitnya mengakhiri tiga masalah itu karena sebagian besar perempuan Indonesia tidak pernah memiliki tubuhnya sendiri.
Saat lahir, mereka dihadapkan pada praktik sunat perempuan. Ketika remaja, pilihan sekolah dan menikah banyak ditentukan keluarga. Setelah menikah, pasangan jadi pemegang kendali. Setelah menjanda, banyak urusan administrasi menyaratkan mereka didampingi anggota keluarga laki-laki.
"Keputusan terkait hidup perempuan selalu diputuskan orang lain di sekitarnya," katanya. Bahkan, pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual pun tak diberikan lengkap hingga membuat perempuan rentan jadi korban kekerasan.
Upaya menekan tiga masalah itu sejatinya menunjukkan kemajuan. Namun, masih ada 10,6 persen perempuan yang ingin pakai kontrasepsi tak terlayani (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2017). Tercatat lebih dari 32.000 perempuan meninggal karena melahirkan (Kementerian Kesehatan, 2016) dan satu dari tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan sepanjang hidupnya (Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional, 2016).
Berbagi kuasa
"Usaha menekan tiga persoalan itu tidak akan pernah tuntas selama power-sharing (berbagi kuasa) dari laki-laki ke perempuan tidak terjadi, bukan sekedar berbagi peran," kata Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Budi Wahyuni.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketiadaan kuasa perempuan itu terwujud dalam banyak bentuk, mulai dari pemilihan alat kontrasepsi, kapan melahirkan, berapa jumlah anak yang diinginkan, hingga menentukan masakan sehari-hari bagi keluarga. Keputusan atas berbagai hal itu lebih banyak didasarkan atas pertimbangan laki-laki.
Sementara dosen sosiologi Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang dan salah satu Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru Nur Hasyim menambahkan \'tiga nol\' itu sulit diwujudkan karena struktur sosial yang jadi dasar relasi laki-laki dan perempuan belum berubah. Laki-laki masih mendominasi perempuan.
"Menekan tiga masalah itu tak cukup hanya dengan memberdayakan perempuan, harus dibarengi dengan transformasi laki-laki," katanya. Laki-laki harus disadarkan bahwa privilise atau hak istimewa yang dimilikinya berdampak negatif kepada perempuan.
Menekan tiga masalah itu tak cukup hanya dengan memberdayakan perempuan, harus dibarengi dengan transformasi laki-laki.
Transformasi itu bisa dilakukan dengan mengubah konsep maskulinitas yang patriarki jadi maskulinitas positif, mengubah sikap dan perilaku lelaki dalam relasi dengan perempuan, dan transformasi nilai sosial yang tak lagi memberi privilise dan kekuasaan pada lelaki.
Karena dasar masalah unmet need, kematian ibu dan kekerasan jender adalah persoalan struktural, maka penyelesaiannya pun harus lewat upaya struktural, termasuk kebijakan.
Sosialisasi dan pendidikan hak asasi manusia berbasis keadilan dan kesetaraan jender harus dilakukan di semua lini, termasuk para pengambil kebijakan. Tanpa itu, alih-alih melindungi hak perempuan, kebijakan pemerintah seringkali justru makin menyudutkan perempuan.