Waspadai terulangnya Kebakaran Hutan
Antisipasi dan penanganan kebakaran hutan dalam tiga tahun terakhir semakin baik.
Indikatornya, luasan kebakaran hutan dan lahan tidak lagi seluas periode waktu sebelumnya. Namun, ditemukan kondisi pola pergeseran kebakaran hutan dan lahan ke arah timur Indonesia. Faktor cuaca ditengarai berkontribusi pada kondisi ini.
Indonesia pada tahun 2015 mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sangat dahsyat. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), lahan yang terbakar seluas tercatat sekitar 2,6 juta hektar dan kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 220 triliun. Sebanyak 504.000 orang mengalami gangguan kesehatan karena terpapar asap yang intens. Belum terhitung keanekaragaman hayati yang terganggu atau rusak. Asap bahkan menimbulkan protes negara tetangga karena “menyeberang” kesana.
Kejadian tersebut menyisakan trauma dan tuntutan publik agar pemerintah melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla sedini dan sebaik mungkin. Tujuannya agar bencana yang dahsyat tersebut jangan sampai terulang lagi.
Menilik kondisi terbaru ancaman karhutla, di tahun 2018 lalu terpantau luasan hutan dan lahan terbakar mencapai 510.000 hektar, naik tinggi dari 165.000 hektar (2017), atau 438.000 hektar (2016). Meski terpantau kembali meningkat, luasan hutan dan lahan yang terbakar masih jauh lebih kecil daripada kondisi tahun 2015 yang mencapai 2,6 juta hektar.
Berdasarkan deteksi satelit NOAA 19, dari periode 2015-2017 terjadi penurunan titik panas (hotspot) di seluruh Indonesia. Jika pada 2015 terdapat 21.929 titik panas, pada 2016 menurun menjadi 3.915 titik panas, dan pada 2017 total hanya 2.567 titik panas terdeteksi. Seiring meluasnya kebakaran pada 2018, diyakini terjadi perluasan titik panas sebagai salah satu indikator penting terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Peningkatan kebakaran hutan dan lahan di tahun 2018 terutama terjadi di wilayah provinsi Jambi, Lampung, Jawa Barat, dan seluruh provinsi di Pulau Kalimantan, bahkan sebagian Maluku, NTT dan Papua. Peningkatan jumlah dan luas kebakaran hutan dan lahan di wilayah-wilayah tersebut naik tinggi dibanding tahun sebelumnya. Perlu kesiapan dan antisipasi dari pemerintah daerah agar kebakaran hutan dan lahan yang meningkat di 2018 itu tak terulang lagi tahun ini.
Ancaman karhutla patut diwaspadai karena cuaca tahun ini tampaknya potensial menjadi komplemen terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam sebuah rapat koordinasi di Bengkalis Riau, (4/3/2019) memperkirakan bulan Juni-September 2019 akan terjadi kemarau panjang, selain tahun ini adalah musim El Nino. Hal itu meningkatkan faktor risiko terjadinya kebakaran.
Untuk kondisi 2019, berdasarkan keterangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk semester-1 (Januari-Juni 2019), terpantau penurunan titik panas dan kebakaran hutan 25 persen atau 177 titik panas dibanding semester-1 2018. Satelit NOAA mencatat terdapat 508 titik panas pada Januari hingga Juni 2019, menurun dari periode yang sama 2018 sebanyak 685 titik. Meski demikian, angka titik panas tersebut masih jauh lebih besar daripada kondisi tahun 2017 yang terpantau merupakan terkecil kebakaran hutan.
Penurunan secara signifikan karhutla di tahun 2016 dan 2017 itu juga disebabkan oleh pengaruh cuaca dan penanganan bencana yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. “Antisipasi dan pencegahan lebih dominan dibandingkan dengan faktor cuaca,” kata Sutopo Purwo Nugroho (alm) menjelaskan kenapa bencana kahurtla turun secara signifikan tahun itu. Sutupo juga menambahkan bahwa status siaga darurat diberlakukan jauh-jauh hari, sehingga pembentukan posko dan koordinasi berbagai pihak dapat terlaksana dengan baik.
Pola Pergeseran
Musim kemarau tahun 2017 berbeda dengan musim kemarau tahun 2016 lalu. Kendati musim kemarau tahun 2017 lebih kering dibandingkan tahun sebelumnya, kondisi tersebut tidak sampai memicu bencana besar. Bencana-bencana yang ditimbulkan, seperti kekeringan, kebakaran hutan, kabut asap, maupun bencana lain turun drastis dibandingkan saat kemarau 2016.
Selama tahun 2017, jumlah titik panas (hotspot) karhutla berkurang, indeks standard pencemaran udara tercatat normal hingga sehat, jarak pandang normal dan aktivitas masyarakat juga berjalan nomal. Tidak ada bandara yang tutup atau terganggu operasionalnya akibat asap.
Dari data BNPB, jumlah titik panas dari pantauan satelit NOAA menurun 32,6 persen selama tahun 2017 dibandingkan 2016. Pada 2016 jumlah titik panas dari NOAA sebanyak 3.563 titik, sedangkan selama 2017 sebanyak 2.400 titik. Begitu juga titk panas dari pantauan satelit Terra-Aqua, terjadi penurunan sampai 46,9 persen. Selama 2016 terdapat 3.628 titik, sedangkan 2017 sebanyak 1.927 titik dengan tingkat kepercayaan di atas 80 persen.
Sebaran bencana karhutla tahun 2017 berbeda dengan karhutla tahun-tahun sebelumnya. Jika sebelumnya daerah yang banyak terbakar adalah di Pulau Sumatera dan Kalimantan, pada tahun 2017 bergeser ke Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB) dan wilayah Papua. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama 2017 menunjukkan daerah yang terbakar di NTT seluas 33.030 hektar, di NTB 26.217 hektar, dan Papua 16.492 hektar.
Pemerintah Sigap
Keseriusan pemerintah dalam menangani bencana kahurtla pun tercermin dari langkah-langkah Presiden Joko Widodo yang ikut serta memberi arahan langsung kepada pihak-pihak terkait. Arahan presiden yang disampaikan dalam Rakornas Pengendalian Kahurla pada 23 Januari 2017, misalnya, efektif menekan membesarnya skala bencana.
Arahan Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan membentuk sub-sub satgas, di antaranya sub satgas darat, udara, penegakan hukum, pelayanan kesehatan, patroli, sosialisasi dan keterlibatan masyarakat lokal. Presiden juga terus memantau pencegahan dan pengendalian karhutla.
Sinergi semua pihak menentukan keberhasilan pengendalian karhutla. Belajar dari pengalaman karhutla pada tahun 2015-2018, maka selama 2019 bisa dikatakan tidak ada yang terlambat dalam memberikan pendampingan dan mengambil langkah-langkah antisipasi.
Penanganan karhutla terbukti hanya berhasil saat dipantau dan dotangani secara ketat oleh pemerintah pusat, daerah dan BNPB. Mestinya pemerintah daerah memiliki tingkat kemandirian mengelola daerahnya. Tidak perlu menunggu terjadinya kebakaran lahan yang luas baru kembali tergopoh-gopoh menyusun penanganan. (LITBANG KOMPAS)