Masa Depan Macan Tutul dan Kerasnya Pertarungan Melawan Manusia
Pelepasliaran macan tutul jawa dilakukan di hutan di Kuningan, Jawa Barat. Satu lagi satwa liar langka diselamatkan dari kerasnya persaingan hidup dengan manusia.
Jarum bius menancap di tubuh Slamet Ramadhan, delapan jam setelah bertamu ke perkampungan di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kesadarannya perlahan hilang. Ketika terbangun, Slamet terkurung dalam kandang besi. Satu lagi satwa liar langka diselamatkan dari kerasnya persaingan hidup dengan manusia.
Slamet bukan manusia. Dia adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas). Macan yang baru beranjak dewasa, sekitar 6 tahun, ini ditemukan di permukiman warga Desa Sindangsari, Kecamatan Kasomalang, Subang, Sabtu (1/6/2019), sekitar pukul 09.00. Darah mudanya membawa penasaran yang membahayakan nyawa.
Berada jauh dari habitatnya, ia sepertinya panik. Seorang warga sempat dicakar. Setelah dikejar dengan tongkat oleh massa, Slamet berdiam di dalam kamar sebuah rumah. Videonya viral di dunia maya. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jabar pun segera mengirimkan petugas ke lokasi.
Kepala BBKSDA Jabar Ammy Nurwati menginstruksikan anggotanya jangan sampai Slamet mati pada Hari Lahir Pancasila, empat hari sebelum Idul Fitri. Akhirnya, Slamet ditembak bius, lalu dievakuasi pukul 17.00. Pihaknya masih menganalisis penyebab Slamet turun gunung ke desa yang berada di sekitar hutan itu. Ia juga belum mengetahui pasti dari mana asal Slamet.
Akan tetapi, menurut Ammy, Slamet ke permukiman warga bisa karena habitatnya terancam atau kekurangan makanan di tengah kemarau. ”Yang jelas, dia tidak mungkin kembali di daerah itu karena dia sudah keluar dari sana. Harus dibawa ke tempat lain,” ujarnya.
Setelah dievakuasi, Slamet sempat dititip rawat di Kebun Binatang Bandung sebelum dipindahkan ke Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga. Di sana ia dirawat intensif sekitar satu bulan.
Selama itu, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkoordinasi dengan BBKSDA Jabar dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC). Forum Macan Tutul Jawa (Formata), Peduli Karnivor Jawa, Pro Fauna Indonesia, Sintas Indonesia, dan Fakultas Kehutanan Universitas Kuningan juga turut dilibatkan.
Setelah berembuk bersama, Selasa (9/7/2019) siang, Slamet akhirnya dilepasliarkan ke bagian utara Gunung Ciremai di kawasan Bukit Seribu Bintang (BSB), Desa Padabeunghar, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten Kuningan. Tempatnya, sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut.
Baca Juga: Slamet Ramadhan Dilepasliarkan di Gunung Ciremai
Kritis
Raungan dan dengusan putus asa Slamet tetap tidak mampu mengubah kenyataan: ia harus beradaptasi kembali di tempat baru. Masih di dalam kandang besi, macan kumbang itu menjadi pusat perhatian banyak orang.
Mereka berlomba-lomba mengambil rupa Slamet melalui lubang kecil ukuran sentimeter di kandangnya. Padahal, kalung berisi GPS yang melingkar di lehernya bisa memantau keberadaannya. Lagi pula, gunung memang habitat asli macan tutul. Kehadiran Slamet seharusnya sesuatu yang lazim. Jaraknya juga sekitar 7 kilometer dari permukiman warga.
Tubuh Slamet seberat 35 kilogram beserta kurungan besinya lalu dipikul secara bergantian oleh delapan warga sepanjang 1,3 km dari tempat wisata BSB. Bau pesing tercium dari kandangnya, mungkin sebagai penanda itu teritorinya atau bisa jadi dia sedang ketakutan.
Sementara menggotong Slamet, ingatan Itok (49), warga Padabeunghar, memutar balik awal 1990-an. Kala itu, seekor macan tutul mati setelah memakan daging anak kerbau yang telah diracun oleh ayah Itok. Lokasinya tidak jauh dari tempat Slamet dilepaskan.
”Waktu itu macan sering menyerang ternak warga. Manusia sih enggak diserang. Saya mau mengawetkan tubuh macan itu, tetapi saat itu formalin lagi dilarang,” ujar warga Padabeunghar itu.
Kini, keberadaan Slamet justru membuat Itok lebih tenang. Ia yakin bisa hidup berdampingan dengan macan tutul. ”Sekarang, yang banyak itu babi hutan. Tanaman warga di bawah gunung juga dimakan. Kalau ada macan, babi hutannya bisa berkurang,” ujarnya.
Menurut Kepala BTNGC Kuswandono, dengan kehadiran Slamet, macan tutul di gunung setinggi 3.078 mdpl itu diperkirakan menjadi lima ekor. Ia memastikan, mangsa bagi Slamet melimpah di gunung tertinggi di Jabar itu. Setidaknya ada 45 jenis mamalia, seperti kancil, babi hutan, dan monyet ekor panjang, yang dapat jadi makanannya.
”Masyarakat setempat sudah setuju dengan kehadiran Slamet. Lokasinya juga aman dari pendaki. Jalur pendakian ada di bagian tengah dan selatan, bukan utara,” ujarnya.
Akan tetapi, Kuswandono mengakui, bagian utara Ciremai selama ini rawan kebakaran. Tahun lalu saja 1.300 hektar atau sekitar 9 persen dari luas total Gunung Ciremai, yakni 15.000 hektar, hangus terbakar. Jumlah ini yang terparah dalam lima tahun terakhir.
”Kami sudah mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan dengan patroli bersama,” ujarnya.
Bagi Anton Ario, pemerhati kucing besar dari Conservation International Indonesia, dari delapan areal hutan di Jabar yang telah dipetakan, Ciremai paling cocok menjadi rumah baru Slamet.
”Tingkat kepadatan bagi individu macan tutul di Ciremai paling rendah, 5 individu per 100 kilometer persegi,” ujarnya.
Menurut Anton, macan tutul merupakan satwa dengan teritori cukup luas, 6 -15 kilometer persegi. Sayangnya, ruang itu menyempit seiring pertumbuhan penduduk dan meluasnya areal permukiman. Warga lalu mengembangbiakkan ternak di sisi luar hutan.
”Akhirnya, manusia dan macan tutul konflik. Bisa juga macan tutul muda kalah dengan yang paling dewasa, umur 10 tahun. Itu sebabnya, jantan muda kerap turun gunung,” ujarnya.
Baca Juga: Proteksi Kawasan untuk Lindungi Satwa
Semakin berkurang
Dalam bukunya, Panduan Lapangan: Kucing Liar Indonesia, Anton memperkirakan tak lebih dari 600 ekor yang hidup tersebar di beberapa taman nasional di Pulau Jawa, seperti Taman Nasional Gunung Halimun, Kawasan Hutan Gunung Salak, dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Selain itu, macan tutul juga terpantau hidup di 12 kawasan cagar alam, hutan wisata, dan taman buru lain di Indonesia. Hasil itu didapat dari perbandingan antara luas hutan di Pulau Jawa 3.277,3304 km persegi dan kepadatan individu macan tutul 6-7 km persegi. Sebagai perbandingan, kepadatan individu macan tutul (Panthera pardus kotiya) di Sri Lanka adalah 20-30 km persegi.
Kondisi itu juga yang rentan memicu konflik. Menurut dia, hingga kini kajian terkait dengan konflik manusia dan macan tutul, termasuk identifikasi populasi satwa dilindungi itu, masih minim. Pastinya, luas areal hutan alam di Jawa terus menyusut. Jika pada 2005 masih ada sekitar 400.000 hektar hutan alam, kini diprediksi hanya tersisa sekitar 100.000 hektar di Jawa (Kompas, 14/2/2019).
Pusat rehabilitasi khusus macan tutul, menurut dia, juga belum tersedia. Setidaknya, tempat rehabilitasi itu menyediakan tenaga medis, klinik, karantina, hingga kandang khusus. Padahal, macan tutul merupakan kucing besar terakhir di Jawa setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah 1980-an.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, diprediksi terdapat 155 ekor macan tutul di Jabar, 210 ekor di Jawa Tengah, dan 325 ekor di Jawa Timur. Angka tersebut bersumber dari sejumlah organisasi yang terinventarisasi tahun 2003, 2005, 2007, dan 2009.
Diprediksi terdapat 155 ekor macan tutul di Jabar, 210 ekor di Jawa Tengah, dan 325 ekor di Jawa Timur. Angka tersebut bersumber dari sejumlah organisasi yang terinventarisasi tahun 2003, 2005, 2007, dan 2009.
Organisasi itu adalah Peduli Karnivor Jawa, Conservation International Indonesia, Biodiversity Conservation Indonesia, dan Japan International Coorporation Agency. Adapun peta persebaran populasi ada di TNG Gede Pangrango, Gunung Salak, TN Alas Purwo hingga Gunung Semeru.
Dengan jumlah yang sangat minim itu, tak mengherankan jika macan tutul ini ditetapkan sebagai satwa liar dan langka yang terdaftar di Appendix I Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species/CITES). Artinya, masuk kategori kritis dan sangat dilindungi.
Baca Juga: Metode Bioakustik Bantu Pengawasan Satwa Liar
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen KSDAE KLHK Indra Exploitasia mengatakan, dalam rencana aksi itu, habitat macan tutul dijamin untuk peningkatan populasi. ”Tantangannya, belum ada pemerintah kabupaten ataupun provinsi yang memasukkan peta habitat satwa dalam tata ruang. Padahal, dengan peta itu, ruang jelajah satwa tidak terganggu,” ujarnya.
Banyak pihak saat pelepasliaran Slamet berharap konflik antara manusia dan macan tutul menjadi yang terakhir. Apalagi, macan tutul terbilang dekat dengan warga Jabar. Macan, misalnya, menjadi lambang Kepolisian Daerah Jabar.
Bahkan, berdasarkan Keputusan Gubernur Jabar Nomor 27 Tahun 2005, macan tutul dijadikan identitas fauna Jabar. Patung macan tutul hitam juga terpampang di pertigaan jalan menuju Kecamatan Pasawahan. Semoga anak cucu kita masih bisa melihat macan tutul Jawa yang asli. Bukan patung belaka!