Besok, Permohonan Amnesti Baiq Nuril Dibahas di DPR
DPR telah menerima surat permintaan pertimbangan atas permohonan amnesti Baiq Nuril dari Presiden Jokowi Widodo pada Senin (15/7/2019) sore. Atas dasar rasa keadilan yang berkembang di masyarakat, Presiden meminta DPR memberikan pertimbangan atas rencana pemberian amnesti tersebut.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat telah menerima surat permintaan pertimbangan atas permohonan amnesti Baiq Nuril dari Presiden Joko Widodo pada Senin (15/7/2019) sore. Atas dasar rasa keadilan yang berkembang di masyarakat, Presiden meminta DPR dapat memberikan pertimbangan atas rencana pemberian amnesti tersebut.
Surat itu ditandatangani Presiden Jokowi dan ditembuskan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, tertanggal 15 Juli 2019.
Dalam suratnya, sebagaimana diunggah anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, di akun Instagram-nya, Presiden menyatakan, hukuman yang dijatuhkan kepada Baiq Nuril menimbulkan simpati dan solidaritas yang meluas di masyarakat, yang berpendapat bahwa pemidanaan terhadap Baiq Nuril bertentangan dengan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.
Presiden berpendapat, perbuatan Baiq semata-mata sebagai upaya memperjuangkan diri dalam melindungi kehormatan dan harkat martabatnya sebagai seorang perempuan dan ibu.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, surat tersebut sudah masuk ke DPR pada Senin pukul 17.15. ”Suratnya sudah langsung saya teruskan ke Ketua DPR,” kata Indra di Jakarta, Senin (15/7/2019) sore.
Surat itu berikutnya akan langsung dibacakan di Rapat Paripurna DPR yang diadakan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/7/2019) besok. DPR memang mengagendakan rapat paripurna untuk sejumlah hal.
”Besok suratnya akan langsung dimasukkan dalam agenda paripurna untuk dibacakan,” lanjut Indra.
Jika tidak ada anggota DPR yang menentang permohonan pemberian amnesti tersebut, amnesti kepada Baiq dapat dikabulkan.
Menurut Ketua DPR Bambang Soesatyo, surat permohonan pertimbangan dari Presiden itu akan dibacakan terlebih dahulu di rapat paripurna. Selanjutnya, DPR akan menyelenggarakan rapat Badan Musyawarah dengan seluruh pimpinan fraksi untuk menugaskan komisi terkait, biasanya Komisi III yang membidangi hukum, untuk membahas pemberian amnesti itu. ”Kami secepatnya akan menyelesaikan hal itu,” kata Bambang.
Berdasarkan Pasal 14 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, amnesti dan abolisi merupakan kewenangan Presiden selaku kepala negara. Kendati demikian, Presiden tetap membutuhkan pertimbangan dari DPR terlebih dahulu.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, DPR akan mengkaji permohonan tersebut dan memberikan pertimbangan kepada Presiden. Permohonan amnesti itu akan diproses DPR di masa sidang berikutnya, Agustus 2019.
Menurut dia, ada kemungkinan amnesti dapat diberikan karena putusan Mahkamah Agung (MA) atas permohonan peninjauan kembali kasus Baiq memang mengandung poin-poin yang patut dipertanyakan.
Ia memaparkan, dalam vonis, Baiq terbukti melanggar Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Unsur utamanya seharusnya adalah menyebarkan atau mendistribusikan rekaman. Namun, dalam putusan MA, pertimbangan hakim justru lebih banyak menyoroti perbuatan Baiq merekam.
”Kami di komisi melihat memang ada yang bisa dipertanyakan. Karena merekam itu, kalau berdasarkan Pasal 27 itu, kan, tidak diancam pidana, yang diancam adalah menyebarkan atau mendistribusikan. Dan, jika dilihat, yang mendistribusikan ke publik itu bukan Bu Baiq,” tutur Arsul.
Kasus ini bermula saat Baiq Nuril menerima telepon dari Kepala Sekolah (Kepsek) M pada 2012.
Dalam perbincangan itu, M menceritakan tentang hubungan badannya dengan seorang wanita yang juga dikenal Nuril. Karena merasa dilecehkan, Nuril merekam perbincangan tersebut.
Pada 2015, rekaman itu beredar luas di masyarakat Mataram dan membuat Kepsek M geram. M lalu melaporkan Nuril ke polisi karena merekam dan menyebar rekaman tersebut. MA, lewat putusan kasasi pada 26 September 2018, menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Vonis hukuman itu diberikan sesuai dengan pelanggaran Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 UU No 11/2008 tentang ITE. Belakangan, Baiq Nuril mengajukan peninjauan kembali, tetapi ditolak oleh MA.