Dosen UGM Protes Penarikan Pajak yang Dinilai Tidak Tepat
Sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengeluhkan kebijakan pimpinan universitas terkait penarikan pajak karena dinilai tidak sesuai aturan sehingga merugikan dosen dan karyawan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengeluhkan kebijakan pimpinan universitas terkait penarikan pajak karena dinilai tidak sesuai aturan sehingga merugikan dosen dan karyawan. Persoalan ini muncul setelah penetapan perguruan tinggi negeri badan hukum, termasuk UGM, sebagai pengusaha kena pajak.
”Ketika proses pemotongan pajak, terjadi kekacauan yang dilakukan pihak pemotong pajak, dalam hal ini adalah pimpinan universitas,” kata Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto, Senin (15/7/2019), di Yogyakarta.
Sigit menjelaskan, persoalan pajak itu bermula dari penetapan UGM sebagai pengusaha kena pajak. Penetapan itu dilakukan berdasarkan Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pajak Nomor 34/PJ/2017 tentang Penegasan Perlakuan Perpajakan bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). Dalam SE yang diterbitkan pada 15 November 2017 itu, disebutkan bahwa PTN BH ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
Di Indonesia saat ini ada 11 PTN BH, yakni UGM, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Menurut Sigit, penetapan UGM sebagai PKP sebenarnya tidak tepat. Sebab, dengan penetapan itu, perguruan tinggi diperlakukan sebagai perusahaan yang menjual jasa pendidikan. Padahal, UGM lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya memiliki karakter nirlaba.
”Menurut saya dan sejumlah teman, penetapan UGM sebagai PKP dianggap mencederai Tri Dharma Perguruan Tinggi dan konstitusi karena UGM diperlakukan sebagai pengusaha penjual jasa pendidikan. Jadi, ada kesalahan yang sangat fatal dalam pemberian status PKP,” ujar Sigit.
Dia menambahkan, sesudah penetapan UGM sebagai PKP, ada sejumlah masalah terkait penarikan pajak bagi dosen dan tenaga kependidikan di universitas tersebut. Salah satunya adalah berubah-ubahnya besaran potongan pajak yang dikenakan terhadap penghasilan dosen dan karyawan UGM.
Kondisi ini membuat dosen dan karyawan UGM kesulitan melakukan perencanaan keuangan. ”Orang itu, kan, harusnya memiliki kepastian pajaknya itu dipotong berapa,” kata Sigit.
Masalah lain yang dikeluhkan dosen dan karyawan UGM adalah pengenaan pajak terhadap uang perjalanan dinas. Selama kurun waktu April 2018-Maret 2019, uang perjalanan dinas dosen dan karyawan UGM dianggap sebagai bagian dari penghasilan sehingga dikenai pajak. Seharusnya tidak dianggap sebagai bagian dari penghasilan sehingga tak dikenai pajak.
Selain itu, dosen juga mengeluhkan pengenaan pajak yang tak sesuai aturan terhadap penghasilan tidak teratur, seperti honor penelitian. Selama kurun April-September 2018, penghasilan tidak teratur dosen UGM dipotong pajak berdasarkan nilai tertentu, lalu dikalikan 12 kali. Akibatnya, potongan yang dikenakan cukup besar, berkisar 25-30 persen.
Mosi tidak percaya
Oleh karena berbagai persoalan itu, sejumlah dosen UGM dari beberapa fakultas membuat mosi tidak percaya kepada dua pejabat di universitas yang dinilai bertanggung jawab atas masalah tersebut. Mosi tidak percaya itu dibuat pada Maret 2019 dan ditandatangani 108 dosen UGM.
”Kami berharap, kebijakan pemotongan pajak ini diperbaiki sesuai aturan dan standar yang baik dan benar. Selain itu, kami meminta status UGM sebagai PKP dipertimbangkan kembali,” ucap Sigit.
Direktur Keuangan UGM Syaiful Ali menyatakan, sejumlah persoalan yang dikeluhkan para dosen itu telah diselesaikan. Ia mencontohkan, pengenaan pajak terhadap uang perjalanan dinas sudah tidak lagi dilakukan. Selain itu, penghasilan tidak teratur juga tidak lagi dikenai pajak dengan nilai yang dikalikan 12.
Namun, Syaiful menuturkan, perubahan kebijakan penarikan pajak di UGM sebenarnya berkait hal yang lebih besar, yakni penetapan PTN BH sebagai PKP. Implikasi dari penetapan ini adalah penghasilan dosen dan karyawan dikenai pajak yang bersifat progresif.
Sama seperti Sigit, Syaiful juga berharap status UGM sebagai PKP bisa ditinjau ulang. Sebab, UGM bukan perusahaan yang bertujuan menghasilkan profit. ”Kalau bisa, status PKP ini ditinjau ulang karena UGM bukan pengusaha, tetapi lembaga pendidikan yang melakukan kegiatan untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa,” ujar Syaiful.