Sebanyak 61 gempa susulan melanda Halmahera Selatan, Maluku Utara, hingga Senin (15/7/2019) pukul 07.00. Sedikitnya 160 rumah rusak dan 2 orang meninggal akibat gempa berkekuatan M 7,2 yang mengguncang kawasan ini pada Minggu (14/7/2019).
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 61 gempa susulan melanda Halmahera Selatan, Maluku Utara, hingga Senin (15/7/2019) pukul 07.00. Sedikitnya 160 rumah rusak dan 2 orang meninggal akibat gempa berkekuatan M 7,2 yang mengguncang kawasan ini pada Minggu (14/7/2019).
Dari 61 kali gempa susulan (aftershock) tersebut, magnitudo terbesar mencapai M 5,8 dan magnitudo terkecil M 3,1. Sebanyak 28 gempa dirasakan guncangannya oleh masyarakat.
Sesuai dengan peta tingkat guncangan (shake map) yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa Halmahera Selatan ini berpotensi merusak. Dalam peta shake map BMKG tampak bahwa di zona gempa dan sekitarnya, guncangan berwarna kuning hingga kecoklatan, yang artinya dampak gempa mencapai skala intensitas VII-VIII MMI.
Dalam peta shake map BMKG tampak bahwa di zona gempa dan sekitarnya, guncangan berwarna kuning hingga kecoklatan, yang artinya dampak gempa mencapai skala intensitas VII-VIII MMI.
Dengan intensitas gempa sebesar ini, dapat terjadi kerusakan dalam tingkat sedang hingga berat. Menurut Kepala Badan Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono, estimasi model ini ternyata sesuai dengan laporan lapangan, gempa yang terjadi menyebabkan sedikitnya 160 bangunan rumah rusak. ”Laporan dari Kepala Stasiun Geofisika Ternate menyebutkan, ada orang yang meninggal,” katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Rita Rosita mengatakan, data lebih rinci tentang dampak kerusakan dan jumlah korban belum bisa dipastikan karena akses informasi ke area terdampak masih terbatas.
Sangat aktif
Menurut Daryono, secara tektonik Halmahera Selatan termasuk kawasan seismik aktif dan kompleks. Ini ditunjukkan dengan sering terjadinya gempa yang tecermin dari peta seismisitas regional.
Di kawasan ini terdapat empat zona seismogenik sumber gempa utama, yaitu Halmahera Thrust, Sesar Sorong-Sula, Sesar Sorong-Maluku, dan Sesar Sorong-Bacan. Adapun ketiga sistem sesar, yaitu Sesar Sorong-Sula, Sesar Sorong-Maluku, dan Sesar Sorong-Bacan, merupakan percabangan (splay) dari Sesar Sorong yang melintas dari timur membelah bagian atas kepala burung di Papua Barat.
Di Pulau Batanta, ke arah barat Sesar Sorong mengalami percabangan. Pada percabangan yang paling utara, yaitu Sesar Sorong-Bacan, inilah selama ini tersimpan akumulasi medan tegangan kulit bumi yang akhirnya terpatahkan sebagai gempa berkekuatan M 7,2 pada Minggu sore. Sesar Sorong-Bacan inilah pemicu gempa Halmahera Selatan.
Sebelumnya, menurut peneliti Pusat Studi Gempa Bumi Nasional (Pusgen), Rahma Hanifa, Sesar Sorong-Bacan belum masuk dalam peta sumber gempa bumi Indonesia yang telah dipublikasikan lembaganya bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2017.
Sesar Sorong-Bacan belum masuk dalam peta sumber gempa bumi Indonesia yang telah dipublikasikan Pusgen bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2017.
Catatan sejarah gempa kuat dan merusak di Halmahera cukup banyak. Di wilayah ini sudah terjadi beberapa kali gempa kuat, yaitu gempa Pulau Raja pada 7 Oktober 1923 (M 7,4) dengan guncangan VIII MMI, gempa Bacan pada 16 April 1963 (M 7,1) dengan skala intensitas VIII MMI, gempa Pulau Damar pada 21 Januari 1985 (M 6,9) dampak VIII MMI, gempa Obi pada 8 Oktober 1994 (M 6,8) dampak VI-VII MMI, gempa Obi pada 13 Februari 1995 (M 6,7) dampak VIII MMI, dan gempa Labuha pada 20 Februari 2007 (M 6,7) dampak VII MMI.