Audit Pemakaian Obat Kanker Perlu Dilakukan Berkala
Sistem audit pemakaian obat kanker perlu dilakukan secara berkala untuk memastikan pemberian obat kanker kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional sesuai kebutuhan serta tidak ada kesalahan dalam pemberian obat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem audit pemakaian obat kanker perlu dilakukan secara berkala. Ini untuk memastikan pemberian obat kanker kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS sesuai dengan kebutuhan serta tidak ada kesalahan dalam pemberian obat.
Ketua Perhimpunan Hematologi Onkologi Medik Penyakit Dalam DKI Jakarta Ronald A Hukom mengatakan, dalam lima tahun penyelenggaraan program JKN, belum pernah ada audit secara khusus pada pemakaian obat kanker. Padahal, audit ini bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan pada peserta.
”Audit ini untuk meneliti apakah rumah sakit dan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan di semua daerah ataupun provinsi sudah mengikuti restriksi (pembatasan) yang ditentukan dalam Formularium Nasional,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Penatalaksanaan Kanker di Era BPJS Kesehatan” di Jakarta, Senin (15/7/2019).
Dia menilai BPJS Kesehatan selama ini melakukan pembatasan paket manfaat JKN-KIS dengan menghapus jenis obat kanker tanpa ada audit pemakaian obat. Dengan demikian, kebijakan yang dikeluarkan bisa saja justru menimbulkan kesalahan dalam pemberian obat.
Jenis obat yang seharusnya diberikan sesuai dengan audit pemakaian obat justru dihentikan. Sebaliknya, jenis obat yang bisa diganti dengan jenis obat dengan biaya yang lebih efisien justru masih ditanggung BPJS Kesehatan.
Kebijakan dalam mengeluarkan serta memasukkan jenis obat kanker tertentu ke paket manfaat JKN-KIS perlu kajian mendalam. Sejumlah pertimbangan yang perlu diperhatikan antara lain efektivitas biaya, analisis dampak biaya, serta dasar pertimbangan medis yang jelas. Apabila ada jenis obat yang tidak ditanggung, pasien tetap harus mendapatkan jenis obat pengganti yang hasilnya lebih baik.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (Ikabdi) Hamid Rochanan mengatakan, audit pemakaian obat perlu dilakukan, terutama pada dua obat kanker kolorektal yang tidak lagi ditanggung BPJS Kesehatan, yakni bevacizumab dan cetuximab. Kedua obat untuk terapi target tersebut kini telah dibatasi pemakaiannya.
Jenis bevacizumab sama sekali dihilangkan dari Formularium Nasional (Fornas), sedangkan cetuximab masih masuk Fornas, tetapi diindikasikan untuk jenis kanker di luar kanker kolorektal.
”Tidak menjamin kedua obat tersebut berarti mendorong dokter hanya memberikan kemoterapi. Akibatnya, pasien kanker kolorektal metastasis yang butuh terapi target tidak mendapatkan hak pelayanan yang aman dan bermutu sesuai indikasi medis,” katanya.
Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri menyebutkan, dukungan lain yang bisa diberikan kepada pasien kanker di era JKN adalah peningkatan fasilitas untuk deteksi dini.
Hampir 80 persen pasien kanker datang ke rumah sakit dengan stadium lanjut sehingga pengobatannya semakin sulit dan mahal.
”Edukasi dan sosialisasi harus lebih gencar. Fasilitas kesehatan, seperti puskesmas, sebaiknya lebih masif menyosialisasikan pencegahan dan deteksi dini kanker. Inovasi juga perlu dikembangkan karena masalah kanker masih sensitif di masyarakat, terutama kanker payudara dan kanker serviks,” ucapnya.