Kapal Buruan Interpol Dicegat Satgas KKP di Selat Malaka
Kapal buruan Interpol, MV Nika, dihentikan di Selat Malaka untuk kemudian diperiksa terkait dugaan penangkapan ikan ilegal. Kapal kargo berbendera Panama yang diawaki 18 orang warga Rusia dan 10 orang warga Indonesia itu kini sandar di Batam, Kepulauan Riau.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Kapal buruan Interpol, MV Nika, dihentikan Tim Satgas 115 Kementerian Kelautan dan Perikanan di Selat Malaka untuk selanjutnya diperiksa terkait dugaan penangkapan ikan secara ilegal. Kapal kargo berbendera Panama yang diawaki 18 warga negara Rusia dan 10 orang warga Indonesia itu kini sandar di Batam, Kepulauan Riau.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Batam, Senin (15/7/2019), mengatakan, kapal itu telah lama menjadi buronan Interpol karena diduga menangkap ikan secara ilegal di wilayah teritori Inggris, yaitu di perairan dekat Pulau Georgia Selatan dan Sandwich Selatan, serta Kepulauan Malvinas.
Berdasarkan laporan awal Interpol, MV Nika menggunakan data automatic identification system (AIS) milik kapal lain. Kapal itu menyamarkan identitasnya sebagai kapal Jewel of Nippon.
Saat dicegat di Selat Malaka pada Jumat (12/7/2019), awak kapal MV Nika dengan sengaja mematikan AIS agar keberadaannya tidak terdeteksi petugas. Selain itu, bendera Panama juga baru dipasang sesaat setelah Kapal Patroli (KP) Orca mencegatnya.
”Ciri sindikat illegal fishing itu anak buah kapalnya (ABK) gonta-ganti dan asal negaranya juga berbeda-beda. Modus ini dilakukan untuk menyulitkan penyelidikan jika mereka tertangkap,” kata Susi.
Diketahui, ABK MV Nika berjumlah 28 orang. Sejumlah 18 orang merupakan warga negara Rusia, sedangkan sisanya warga negara Indonesia. Mereka direkrut di China dan Korea Selatan serta dijanjikan upah 350 dollar AS hingga 380 dollar AS per bulan untuk menangkap ikan di wilayah perairan China.
Kapal MV Nika diketahui telah beroperasi sejak 1998 dan sempat bergonta-ganti nama sebanyak tujuh kali. Bendera yang digunakan juga berganti-ganti, mulai dari Honduras, Kamboja, Korea Selatan, dan terakhir Panama.
MV Nika merupakan kapal jenis kargo yang seharusnya tidak boleh digunakan untuk menangkap ikan. Pemilik kapal itu adalah perusahaan Marine Fisheris di Kepulauan Marshall. Perusahaan itu diketahui juga merupakan pemilik kapal FV STS-50 yang ditangkap di Indonesia pada tahun 2018.
”Saat ini prosesnya investigasi gabungan yang dipimpin Interpol. Semua negara nanti akan menyampaikan tuntutannya masing-masing,” ujar Susi.
Menurut rencana, kapal berbobot 600 gros ton itu akan disita untuk dijadikan pengingat kejahatan laut di Indonesia. ”Dulu ada lebih dari 10.000 kapal ilegal berbagai ukuran yang mencuri ikan di laut kita, maka sekarang beberapa kapal yang ditangkap dijadikan pengingat agar kita tidak lupa,” kata Susi.
Multinasional
Dalam pemeriksaan MV Nika, Indonesia memprakarsai pembentukan multinational investigation support team (MIST). Tim itu terdiri atas beberapa negara dan organisasi terkait, yaitu Indonesia, Panama, Australia, AS, Interpol, dan Convention on Antarctic Marine Living Resources (CCAMLR).
Menurut Susi, MIST nantinya akan berguna untuk mendukung otoritas Indonesia dalam melakukan pemeriksaan kapal penangkap ikan ilegal. Ini merupakan langkah awal Indonesia untuk terlibat dalam MIST menangani dugaan tindak pidana kejahatan terorganisasi yang bersifat lintas nasional.
Selama ini, penanganan kejahatan lintas nasional, terutama penangkapan ilegal, menjadi sorotan setelah beberapa kali Indonesia mendapat rintangan dari negara lain. Contoh terbaru adalah upaya penangkapan kapal penangkap ikan ilegal Vietnam, Kamis (11/7/2019), di perairan Natuna Utara yang diintervensi kapal patroli Vietnam.
”Hari ini kami akan bersurat untuk melakukan protes kepada Pemerintah Vietnam yang melakukan perintangan terhadap upaya penegakan hukum di perairan Indonesia,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Agus Suherman.