Kemunculan media sosial makin menantang pemilik merek untuk mencari promosi ”gratisan” dengan mendayung di arus gegap gempita sebuah peristiwa. Mereka memanfaatkan peristiwa untuk meletakkan mereknya ke gelombang perbincangan.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Era media sosial membuat suatu peristiwa mudah sekali menjadi terkenal dan ramai diperbincangkan, termasuk peristiwa yang sebenarnya remeh-temeh. Tak kurang akal, dunia pemasaran memanfaatkan berbagai peristiwa itu untuk meletakkan mereknya ke dalam gelombang perbincangan bahkan mungkin kehebohan yang bisa berlangsung behari-hari. Ada beberapa strategi agar saat ”menunggangi” atau ”membajak” peristiwa yang ramai memberi dampak maksimal.
Saat Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu Sabtu (13/7/2019) dan mengajak untuk melupakan perbedaan dan kemudian mengajak membangun perdamaian, tak lama setelah itu akun media sosial Grab Indonesia membuat unggahan ”Lupakan perbedaan, sekarang waktunya damai”. Di bawahnya ada dasbor yang bertuliskan ”Cebong (Off)”, ”Kamprett (Off)”, dan ”Turun MRT pesen Grab bareng (On)”. Unggahan ini langsung mendapat perhatian warganet.
Kita juga masih ingat ketika orang ramai membuat tagar #2019gantipresiden, setelah itu banyak tagar yang mirip, tetapi untuk kepentingan promosi, seperti tekfin Dana yang membuat #gantidompet.
Tanpa banyak diketahui publik, seorang CEO sebuah usaha rintisan benar-benar mempersiapkan diri ketika hendak pergi ke acara yang dihadiri presiden. Ia mengenakan kaus yang mencolok dengan nama produk di dada sehingga ketika presiden hendak menyebut contoh usaha rintisan, ia langsung terpana pada kaos CEO tadi dan langsung menyebut usaha rintisan itu. Promosi gratis dari Presiden.
Kemunculan media sosial menantang pemilik merek untuk mencari promosi ”gratisan” dengan mendayung di arus gegap gempita sebuah peristiwa.
Kemunculan media sosial makin menantang para pemilik merek untuk mencari promosi ”gratisan” dengan mendayung di arus gegap gempita sebuah peristiwa. Dengan kalimat yang halus, unik, dan menggelitik, promosi mereka akan menarik banyak orang. Merek tersebar ke mana-mana dalam hitungan detik tanpa mengeluarkan biaya dalam jumlah besar. Akibatnya, citra positif perusahaan terus berkibar tanpa mengeluarkan tenaga besar.
Sejarah pembajakan peristiwa (hijack event) setidaknya bisa dilacak ketika Olimpiade Atlanta tahun 1996. Saat itu pelari cepat Michael Johnson menjuarai lomba lari 200 meter dan memecahkan rekor dunia sehingga mendapat medali emas. Peristiwa ini muncul dalam halaman muka majalah Time dengan gambar Johnson mengenakan sepatu produksi Nike. Sudah barang tentu Nike mendapatkan keuntungan publikasi gratis ke seluruh dunia. Sejak peristiwa itu, berbagai organisasi olahraga memperketat penggunaan aparel dan lain-lainnya dalam berbagai kegiatan olahraga. Mereka hanya memperbolehkan penggunaan sepatu dan pakaian yang disediakan sponsor resmi.
Di era media sosial pembajakan event makin sering terjadi. Para pemilik merek makin jeli memanfaatkan berbagai kegiatan, baik yang terjadwal maupun yang tiba-tiba muncul.
Unggahan-unggahan di media sosial yang sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi dari tokoh terkenal kerap memunculkan komentar-komentar yang membajak ketenaran dari si tokoh. Komentar dengan gaya yang unik dan otentik memunculkan perbincangan yang luas. Dari beberapa tulisan pemasaran memang terbukti ketika media sosial muncul, pembajakan itu makin kerap dilakukan.
Untuk mampu membajak peristiwa, diperlukan persiapan matang. Kita masih melihat kalender kegiatan yang ada dan terjadwal, semisal tahun baru, 17 Agustus, dan perayaan keagamaan.
Di samping itu, ada tanggal-tanggal unik, seperti 02 02 2020 yang perlu dicermati sehingga bisa membuat promosi produk tanpa mengeluarkan banyak biaya dan tenaga.
Meski demikian, para pemilik merek perlu jeli ketika muncul peristiwa yang tiba-tiba atau spontan. Mereka yang lebih jeli pasti akan mudah memanfaatkan peristiwa ini dan akan mendapat peluang yang lebih besar dibandingkan hanya bergantung pada peristiwa terjadwal.
Studi yang menarik dari membajak peristiwa dadakan adalah ketika terjadi pemadaman listrik saat berlangsung kompetisi Superbowl tahun 2013 di Amerika Serikat. Listrik yang tiba-tiba padam secara spontan menggerakkan tim pemasaran Oreo untuk membuat konten di media sosial secara cepat.
Idenya adalah saat gelap karena listrik padam, tak masalah. Anda bisa tetap mencelupkan Oreo. Mereka mengunggah foto dengan gambar Oreo yang berlatar belakang hitam dengan tulisan ”You can still dunk in the dark”. Kontan unggahan mereka mendapat respons positif dari warganet di tengah pemadaman yang berlangsung selama 34 menit.
Sudah barang tentu karena namanya membajak atau menunggangi, cara-cara seperti ini memiliki risiko jika tidak dilakukan secara cermat. Berkaca dari kasus Olimpiade Atlanta 1996, pemilik merek perlu melihat aturan-aturan dalam promosi dalam acara olahraga, musik, atau keramaian lainnya. Kita perlu menjaga agar tidak terjerat kasus hukum. Di sisi lain, pemilik merek harus berhati-hati agar pembajakan atau penunggangan ini tidak malah berbalik memberi citra negatif kepada mereka.