Pengungsi Asing di Jakarta, Antara Panggilan Kemanusiaan dan Beban Sosial
Kehadiran pencari suaka dan pengungsi dari beberapa negara merupakan dilema bagi Jakarta. Di satu sisi, pemerintah dan warga Jakarta belum bersiap menghadapi masalah pengungsi asing. Di sisi lain, ada kisah pilu yang menggedor kemanusiaan.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·6 menit baca
Kehadiran para pencari suaka dan pengungsi dari beberapa negara merupakan dilema cukup pelik bagi Jakarta. Di satu sisi, baik pemerintah maupun warga Jakarta belum pernah bersiap untuk menghadapi masalah pengungsi asing. Di sisi lain, ada kisah-kisah pilu yang menggedor rasa kemanusiaan. Penolakan warga terhadap penampungan mereka pun membuat masalah bertambah rumit.
Setiap pencari suaka menyimpan kisah pilunya. Sekelompok gadis remaja mirip dengan sosok Malala Yousafzai—remaja putri asal Pakistan peraih penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2014—terlihat menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di sebuah sudut di ruangan di gedung lahan eks Kodim Jakarta Barat, Kalideres, tepatnya di perumahan mewah Daan Mogot Baru, Jakarta Barat, Minggu (14/7/2019).
”Makanan dan minuman sangat terbatas di sini, tidak ada sarapan, sementara kami juga tidak punya uang untuk beli makan ke luar,” kata Mulbain Rahimi (14), salah satu gadis itu.
Rahimi datang ke Indonesia enam bulan lalu bersama kedua orangtuanya. Mereka memegang kartu identitas pencari suaka dari Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR). Sejak lahir, Rahimi dan tiga saudaranya yang beretnis Hazara itu tak pernah mengecap kehidupan yang aman.
Gerombolan Taliban selalu mengancam kehidupan di desanya dengan teror dan kekerasan. Gerombolan itu biasa datang kapan saja, menggedor rumah mereka, menenteng senjata, dan menebar ancaman. Gadis-gadis etnis Hazara itu tak bisa bersekolah dengan aman karena ancaman tersebut. ”Kadang-kadang sekolah harus menyembunyikan kami dari Taliban,” ucap Rahimi.
Sejak lahir, Rahimi dan tiga saudaranya yang beretnis Hazara itu tak pernah mengecap kehidupan yang aman.
Dalam usia yang begitu belia, gadis-gadis itu telah kerap menyaksikan kekerasan dan pembunuhan. Kehidupan yang begitu mengerikan itu membuat keluarga petani itu menjual semua sapi dan ladang di negerinya.
”Kami naik pesawat ke India dengan visa resmi selama beberapa hari, lalu ke Malaysia sekitar empat jam, dan sekarang sampai di Indonesia. Di sini, kami langsung dibawa ke UNHCR,” kata Rahimi yang fasih berbahasa Inggris itu.
Nabilah Huzaimi (15), gadis lain dari Afghanistan, tiba di Indonesia pada 1,5 tahun lalu. Ia juga bersama keluarganya yang terdiri atas tujuh orang. Keluarganya menjual toko, ladang, ternak, dan seluruh harta benda untuk bisa keluar dari neraka kekerasan di negaranya.
Kedua ayah dari dua gadis itu sama-sama mengalami cedera kaki selama berbulan-bulan. Ayah Rahimi mengalami cedera dan sekarang pincang karena dipukuli gerombolan Taliban. Sementara ayah Huzaimi harus berjalan dengan kruk karena kakinya cedera terkena bom.
Kisah lain dialami Ahmad (31) yang lari dari kekerasan di Sudan. Pria berkulit hitam legam itu lari setelah ayah dan kakaknya ditembak mati dalam konflik di negaranya. Enam tahun lalu, Ahmad harus membayar begitu mahal untuk bisa keluar dari Sudan sebagai imigran gelap.
”Saya bayar orang Arab untuk bisa keluar, tidak bisa memilih tempat yang kami tuju. Tiba-tiba saya sampai di Malaysia, lalu naik kapal sampai Medan, dan diterbangkan ke Jakarta,” katanya.
Sebelumnya, Ahmad dan istri serta satu putrinya yang berusia enam bulan tinggal di trotoar di dekat Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat. Setelah lama tanpa kejelasan nasib, mereka akhirnya pindah ke trotoar di depan Kantor UNHCR di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Ia datang bersama sekitar 250 orang yang selama itu tinggal bersama-sama di trotoar di Kalideres.
”Kami waktu itu marah karena tak bisa kerja, tak bisa punya rumah, tak ada kejelasan. Kami tidur di trotoar di Jakarta Pusat berharap dapat bantuan meskipun kecil,” ujarnya.
Aksi mereka rupanya memancing para pencari suaka dari tempat-tempat lain, di antaranya dari Bogor. Jumlah mereka pun terus membengkak hingga lebih dari 1.100 orang di penampungan sementara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka berharap mendapat kepastian akan masa depan.
Masalah baru
Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Irmansyah mengatakan, masalah pencari suaka ini merupakan masalah baru bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Selama 30 tahun saya bekerja di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, baru sekali ini kami menghadapinya,” katanya.
Jakarta tak pernah bersiap untuk masalah ini. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tak mempunyai alokasi untuk mengurus para pencari suaka tersebut. Dinas Sosial DKI Jakarta terpaksa mengeluarkan dana dari kas anggaran darurat yang tentu jumlahnya terbatas.
Karena keterbatasan ini, makan hanya dijatah dua kali sehari dengan jatah minum yang juga sangat terbatas. Demikian juga fasilitas air dan mandi, cuci, kakus (MCK) yang demikian minim. Sementara kebutuhan bayi dan anak-anak yang sangat banyak di sana belum bisa diadakan.
Dari sisi pengelolaan penampungan, semua hal pun masih dilakukan dengan terbata-bata. Aturan jam malam, misalnya, baru diterapkan pada hari ketiga penampungan digelar. Aturan-aturan pengelolaan rumah penampungan pencari suaka pun harus dipelajari terlebih dahulu.
Masalah pencari suaka ini sebenarnya bukan ranah tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI, melainkan UNHCR dan pemerintah pusat.
”Untuk aturan-aturan dan pengelolaan pun kami harus bertanya-tanya dahulu, bagaimana idealnya, karena semua ini baru. Pelan-pelan kami tingkatkan ketertibannya,” ujar Irmansyah.
Ia mengatakan, masalah pencari suaka ini sebenarnya bukan ranah tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI, melainkan UNHCR dan pemerintah pusat. Namun, karena pihak UNHCR sudah mengirim surat untuk dukungan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka penampungan sementara dengan alasan kemanusiaan.
Irmansyah berharap, pihak UNHCR segera memberi solusi untuk masalah ini. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melayangkan surat kepada UNHCR dan pemerintah pusat untuk segera menemukan solusi bagi para pencari suaka tersebut.
Penampungan sementara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya akan dibuka selama tujuh hari. Namun, hingga kini, badan PBB untuk urusan pengungsi itu belum memerikan solusi saat tujuh hari itu habis.
”Kami masih melihat dan menunggu kebijakan selanjutnya. Sebab, kalau kemudian UNHCR tak siap setelah tujuh hari ini, sangat tak manusiawi juga kami lalu mengusir para pencari suaka itu,” katanya.
Spanduk-spanduk besar berisi penolakan bertebaran di sepanjang jalan utama Perumahan Daan Mogot Baru.
Warga sekitar pun rupanya dikejutkan dengan kehadiran ribuan orang yang asing bagi mereka itu. Spanduk-spanduk besar berisi penolakan bertebaran di sepanjang jalan utama Perumahan Daan Mogot Baru. Beberapa spanduk menyatakan penolakan terhadap keberadaan penampungan tersebut. Sebagian lainnya mempertanyakan, apakah tidak ada tempat lain yang lebih baik sebagai tempat penampungan.
Di perumahan yang seluruh jalannya berportal dan berpos pengaman itu, kehadiran lebih dari 1.000 warga asing membangkitkan kekhawatiran akan timbulnya masalah sosial.
Menanggapi penolakan itu, Irmansyah berharap warga sekitar bisa lebih berempati kepada sesamanya yang tengah menderita. Pihaknya juga mencari solusi dengan meningkatkan keamanan dan tata tertib untuk mencegah kekhawatiran itu.
Sementara itu, betapa rindu gadis-gadis remaja untuk belajar di sekolah. Keluarga-keluarga itu tak berharap muluk-muluk. Mereka hanya berharap hidup yang layak, seperti mendapat pendidikan atau pekerjaan yang memberi arti pada hari-hari mereka, yang sekarang lebih banyak dilewati dengan duduk-duduk saja. Namun, hingga sekarang, bagi mereka, masa depan begitu tak pasti.
Dilema pencari suaka memang tak mudah. Antara panggilan kemanusiaan dan beban sosial baru, diperlukan kebijakan yang tepat dan berempati.