Persaingan tunggal putra Wimbledon 2019 menjadi persaingan yang semestinya dari sebuah turnamen. Tiga unggulan teratas tampil di semifinal, diikuti perebutan gelar juara yang mempertemukan dua petenis terbaik. Penonton pun dipuaskan oleh penampilan tingkat tinggi mereka.
Oleh
Yulia Sapthiani
·5 menit baca
“Big Three”, yang terdiri atas tiga unggulan teratas, Novak Djokovic, Roger Federer, dan Rafael Nadal, menjadi pelaku utama dari persaingan itu. Setelah laga klasik Federer melawan Nadal pada semifinal, laga lain yang memuaskan penonton terjadi ketika Federer bertemu Novak Djokovic pada final di All England Club, London, Inggris, Minggu (14/7/2019).
Pertemuan antara dua unggulan teratas di final ini menjadi yang pertama sejak keduanya bertemu pada final 2015. Dengan status sama seperti saat ini, ketika itu Djokovic menang, 7-6 (7-1), 6-7 (10-12), 6-4, 6-3.
Setahun sebelumnya, Djokovic juga mengalahkan Federer di final, membalas kekalahan yang dialami pada semifinal Wimbledon 2012. Kemenangan pada tujuh tahun lalu itu menjadi kemenangan terakhir Federer atas Djokovic di ajang Grand Slam.
Setelah final 2015, perebutan gelar juara tunggal putra pada tiga tahun beruntun berikutnya tak menyuguhkan laga ideal. Andy Murray, unggulan kedua, juara pada 2016 setelah mengalahkan Milos Raonic (unggulan ke-6) di final.
Final berikutnya, bahkan, berlangsung berat sebelah : Federer (3) menang mudah atas Marin Cilic (7), 6-3, 6-1, 6-4. Adapun pada final 2018, Kevin Anderson (8) tak mampu memberi perlawanan pada Djokovic (12) karena kelelahan setelah bermain lima set di semifinal.
Persaingan sesungguhnya terjadi lagi pada musim ini. Pada semifinal Federer melawan Nadal, yang dimenangi Federer 7-6 (7-3), 1-6, 6-3, 6-4, penonton berkali-kali disuguhi pukulan ajaib.
Gerakan dan penggunaan tenaga yang efektif dari Federer serta gaya fisikal Nadal membuat pukulan yang seharusnya mati masih bisa dikembalikan. Federer pun harus menanti hingga match point kelima untuk meraih tiket final.
Pertemuan Federer dan Djokovic di final menjadi pertemuan dua petenis dengan statistik terbaik dalam beberapa indikator. Sebelum tampil di final, Federer menjadi petenis dengan perolehan persentase tertinggi dalam meraih poin dari servis, yaitu 95 persen.
Sebaliknya, Djokovic adalah petenis dengan pengembalian servis terbaik. Keberhasilan meraih poin dari pengembalian servis pertamanya adalah 36 persen dan 38 persen dari servis kedua.
Keistimewaan lain yang juga membuat final kali ini berjalan ketat adalah kemampuan Federer dalam mengambil bola “on the rise”. Pukulan saat bola naik setelah memantul ke tanah atau pas di puncak kurva ini efektif dalam menghasilkan poin. Ini karena tenaga yang dihasilkan untuk melakukannya cukup besar.
Pukulan ini juga dilakukan saat lawan belum berada pada posisi ideal untuk bertahan sehingga sulit untuk mengantisipasinya. Pukulan inilah yang menyulitkan Nadal saat semifinal. “Federer punya kemampuan memukul lebih awal yang lebih bagus dari petenis-petenis lain. Itu yang membuatnya unggul,” kata Nadal.
Djokovic mengatasi itu dengan kelincahannya. Tujuh kali juara Grand Slam, John McEnroe menilai, Djokovic adalah petenis dengan gerakan terbaik.
Pertemuan ke-48 Djokovic dan Federer pun berlangsung ketat. Hingga berita ini diturunkan, laga harus diakhiri pada set kelima setelah Federer merebut set keempat untuk mengimbangkan kedudukan, 7-6 (7-5), 1-6, 7-6 (7-4), 4-6.
Ketatnya persaingan diperlihatkan sejak set pertama yang berlangsung selama 58 menit, lebih lama ketika tunggal putri Simona Halep mengalahkan Serena Williams, 6-2, 6-2, dalam waktu 55 menit, sehari sebelumnya.
Hanya ada satu kesempatan mematahkan servis pada set itu, yang dimiliki Federer pada gim ke-10, namun Djokovic menggagalkannya. Federer sebenarnya membuat Djokovic kesulitan dengan bola yang diarahkan tipis menyusur garis atau sudut lapangan, tetapi dia juga membuat banyak kesalahan. Saat tiebreak set pertama misalnya, enam poin Djokovic didapat dari unforced error Federer.
Makna juara
Seperti semua petenis yang menjalani persaingan di arena profesional, Djokovic memimpikan juara Wimbledon sejak kecil. Sejak mengenal tenis pada usia empat tahun di tanah kelahirannya, Serbia, bercita-cita menjadi nomor satu dunia. Beberapa tahun setelah itu, dia membuat trofi Wimbledon dari kardus dan berlatih merayakan kemenangan.
Jika juara, petenis nomor satu dunia itu mendekati Federer dan Nadal dalam perolehan gelar juara di arena Grand Slam. Dengan 15 gelar sebelum final Wimbledon, dia tertinggal tiga gelar dari Nadal dan lima dari Federer.
Berkat kemampuan bermainnya yang setara di berbagai jenis lapangan, mantan petenis nomor satu dunia, Mats Wilander, menilai Djokovic bisa melampaui prestasi Federer dan Nadal. "Djokovic seringkali tak kesulitan menghadapi Federer atau Nadal dan dia bisa menghadapi petenis dengan berbagai gaya main, di tanah liat, rumput, atau lapangan keras. Menurutku, dia tak akan terkalahkan untuk waktu yang lama,” kata Wilander dalam laman resmi Wimbledon.
Bagi Federer, kemenangan akan menjadi penegas dominasinya di Wimbledon. Ini mengantarkannya menjadi petenis dengan gelar tunggal terbanyak, sembilan gelar, di turnamen tenis tertua itu, sejajar dengan Martina Navratilova yang meraihnya pada rentang tahun 1978-1990.
Dalam usia 37 tahun 340 hari, Federer juga bisa menjadi tunggal putra tertua peraih gelar Grand Slam dalam era Terbuka, sejak 1968. Sebelum Federer, Ken Rosewall menjadi satu-satunya petenis yang menjuarai Grand Slam pada usia 37 tahun. Dia juara Australia Terbuka 1972 pada usia 37 tahun 62 hari.
Mencapai final berselang 16 tahun setelah final pertamanya di arena Grand Slam, yang terjadi di Wimbledon 2003, Federer pun tak menduganya. Pada momen yang sama seperti 16 tahun lalu, rekan seangkatan Federer, Serena Williams, juga hadir di final tahun ini. Namun, Serena kalah dari Simona Halep, 2-6, 2-6.
“Agak aneh rasanya, 16 tahun setelah momen itu, saya masih di sini. Begitu pula Serena. Ini spesial bagi kami, apalagi Serena telah melebihi saya karena dia menjalani ini lebih dulu dari saya,” kata Federer.
Dalam selang 16 tahun itu, Federer telah mengumpulkan 20 gelar juara Grand Slam dan memiliki dua pasang anak kembar, yaitu Myla Rose dann Charlene (9) serta Leo dan Lenny (5). Mereka selalu hadir setiap Federer menjalani tur, terutama dalam turnamen besar.
"Mungkin saya akan pensiun kalau mereka tak ikut. Kehadiran anak-anak sangat berarti, terutama saat saya kalah. Mereka selalu ada, tak peduli saya menang atau kalah,” kata Federer.
Federer pun mendapat hiburan dari mereka setelah mengalahkan Nadal di final. Melihat ayah mereka mendapat ucapan selamat dari banyak orang, si kembar yang menduga sang ayah berulang tahun, memberi hadiah lagu “Selamat Ulang Tahun”. "Mungkin itu satu-satunya lagu gembira yang mereka tahu,” kata Federer. (AFP)