JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan utang luar negeri Indonesia pada Mei 2019 melambat dibandingkan bulan sebelumnya akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Berdasarkan rasio utang terhadap produk domestik bruto, struktur pinjaman luar negeri masih dalam keadaan sehat.
Pada akhir Mei 2019, utang luar negeri Indonesia 386,1 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Senin (15/7/2019), yakni Rp 13.970 per dollar Amerika Serikat (AS), maka utang luar negeri Indonesia ini setara Rp 5.393 triliun.
Utang tersebut terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 189,3 miliar dollar AS, dan utang swasta termasuk BUMN mencapai 196,9 miliar dollar AS.
Posisi utang luar negeri pada Mei 2019 tercatat tumbuh 7,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun pertumbuhan utang pada April 2019 sebesar 8,8 persen dibandingkan April 2018.
Dalam keterangan pers, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengatakan, perlambatan tersebut dipengaruhi transaksi pembayaran neto utang luar negeri dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
”Pelemahan nilai tukar membuat utang dalam rupiah tercatat menjadi lebih rendah dalam denominasi dollar AS,” ujarnya.
Catatan BI menunjukkan, pertumbuhan utang luar negeri swasta Mei 2019 sebesar 11,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini melambat dibandingkan April 2019 sebesar 14,7 persen.
Menurut Onny, perlambatan itu didorong penurunan posisi utang di sektor jasa keuangan dan asuransi. Utang luar negeri swasta pada Mei 2019 didominasi sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor industri pengolahan, serta sektor pertambangan dan penggalian.
”Total pangsa sektor tersebut mencapai 75,2 persen terhadap total utang luar negeri swasta,” katanya.
Adapun pertumbuhan utang luar negeri pemerintah pada Mei 2019 sebesar 3,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun pertumbuhan utang April 2019 sebesar 3,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini didorong penerbitan surat utang atau obligasi pemerintah secara global.
Meski tumbuh, secara nominal utang luar negeri pemerintah pada Mei 2019 sebesar 189,3 miliar dollar AS, menurun dibandingkan April 2019 yang mencapai 186,7 miliar dollar AS.
Penurunan itu, lanjut Onny, dipengaruhi pembayaran neto pinjaman senilai 0,5 miliar dollar AS dan penurunan kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh investor asing senilai 1,5 miliar dollar AS yang dipengaruhi ketidakpastian global.
Obligasi global
Berdasarkan data Kementerian Keuangan per 4 Juli 2019, kepemilikan asing pada SBN mencapai Rp 829,22 triliun. Posisi ini tumbuh 19,51 persen dibandingkan posisi yang sama tahun lalu.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, terdapat banyak faktor yang membuat investor berbondong-bondong mengincar obligasi yang diterbitkan pemerintah. Salah satunya adalah prediksi penurunan suku bunga The Fed.
Prediksi penurunan tersebut membuat selisih imbal hasil SBN dan obligasi pemerintah AS akan melebar. Saat ini, imbal hasil obligasi Pemerintah AS ada di angka 2,04 persen untuk tenor 10 tahun, sementara imbal hasil obligasi Indonesia ada di angka 7,27 persen.
”Selisih imbal hasil ini tentunya membuat investor akan senang berinvestasi dalam portofolio SBN. Kondisi ini meningkatkan pertumbuhan utang luar negeri pemerintah,” kata Bhima.
Di samping itu, lanjut Bhima, hingga akhir tahun nanti inflasi diprediksi lebih rendah dari 3,5 persen sehingga imbal hasil secara riil yang didapat investor tak tergerus inflasi. Namun, kepemilikan asing yang meningkat bisa berisiko jika terjadi kondisi ekonomi yang tidak kondusif sehingga membuat arus modal keluar.
Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, David Sumual, mengatakan, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap PDB pada akhir Mei 2019 sebesar 36,1 persen. Rasio ini cukup stabil dibandingkan April 2019 sebesar 36,5 persen.
Dengan kondisi tersebut, struktur utang luar negeri Indonesia masih dalam kondisi sehat. Pemerintah dinilai mampu memegang teguh prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas pengelolaan utang.
”Peran utang luar negeri perlu terus dioptimalkan dalam menyokong pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” katanya.