Harga garam pada petani garam anjlok hingga Rp 500 per kilogram. Petani garam berharap pemerintah membenahi tata niaga untuk menyokong produksi dalam negeri.
JAKARTA, KOMPAS — Harga garam pada petani garam anjlok hingga Rp 500 per kilogram. Petani garam berharap pemerintah membenahi tata niaga untuk menyokong produksi dalam negeri.
Serapan stok garam rakyat hingga pertengahan Juli 2019 masih tersendat. Petani garam mendorong penambahan gudang dan pembenahan tata niaga untuk menjamin kelangsungan usaha garam rakyat di masa depan.
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Muhammad Hasan akhir pekan lalu menyatakan, penyerapan garam di masa panen tahun ini masih minim. Karena itu, harganya terjun hingga Rp 500 per kilogram (kg). Rendahnya penyerapan dipicu oleh stok yang masih menumpuk di gudang.
”Pemerintah perlu membenahi tata niaga garam yang karut-marut dan memukul semangat petambak untuk meningkatkan produksi,” ujarnya.
Ada indikasi garam industri merembes ke industri kecil dan menengah. Hasan berharap pemerintah mendata secara akurat jumlah industri kecil dan menengah serta kebutuhan dan asal pasokan garamnya.
Petani garam juga berharap pemerintah memasukkan garam ke dalam komoditas kebutuhan pokok dan barang penting agar harganya di tingkat produsen dalam negeri terlindungi dan terhindar dari permainan kartel.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengemukakan, pihaknya telah meminta PT Garam (Persero) untuk membantu penyerapan garam rakyat.
Secara terpisah, Direktur Utama PT Garam Budi Sasongko, Minggu (14/7/2019), menyatakan, penyerapan garam hingga Juli 2019 baru sekitar 4.000 ton dari target 30.000 ton hingga akhir tahun.
Perbaikan mutu
Penyerapan garam rakyat diharapkan setidaknya sama dengan tahun lalu, yakni 1,128 juta ton. Di sisi lain, petani garam dinilai perlu memperbaiki kualitas garam produksinya.
Sekretaris Umum Badan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara menyatakan, sudah ada pembicaraan di antara anggota AIPGI mengenai rencana penyerapan garam lokal tahun ini.
Menurut Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian Fridy Juwono, komitmen serapan garam lokal tahun lalu dihitung mulai panen raya, yakni dari awal Agustus 2018 sampai akhir Juli 2019, sejumlah 1,128 juta ton. ”Sampai pekan pertama Juli 2019 terserap 1 juta ton,” ujarnya.
Komitmen menyerap garam lokal diteken oleh 10 industri pengolah garam yang mengimpor garam. Mereka membuat nota kesepahaman untuk menyerap garam lokal. Soal komitmen ke depan, pemerintah berharap ada hasil pembicaraan para produsen pengolahan garam dalam dua pekan ini.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono mengatakan, Indonesia harus terus berupaya meningkatkan produksi garam yang memenuhi standar.
Menurut dia, garam yang anjlok harganya adalah garam kualitas 2 (K2) atau K3. ”Jadi, kalau ada yang membuat garam K2 atau K3, silakan diproses dulu sehingga kadar NaCl-nya minimal 94,” katanya.
Saat ini dua kementerian koordinator yang menangani garam. ”Kami menangani garam rakyat, sementara penetapan kuota impor ditangani Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,” kata Agung.
Persoalan garam dinilai kompleks sehingga penanganannya perlu mempertimbangkan semua aspek. Selain kementerian, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian, lembaga/instansi lain perlu terlibat, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Badan Pusat Statistik, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Sebelumnya, Agung menyatakan, pemerintah saat ini tidak bisa menjaga harga pokok produksi garam. Sebab, garam telah dikeluarkan dari Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.