Hitam Pekat Asap "Dollar Plastik"…
Asap hitam pekat keluar dari puluhan cerobong tungku masak industri tahu skala rumahan di Desa Tropodo, Krian, Sidoarjo, pertengahan Juni 2019. Meski mengenakan masker, asap tetap terhirup dan masuk ke dalam saluran pernapasan.
Hanya dalam hitungan detik, tarikan napas menjadi berat dan kepala terasa pusing. Jelaga hitam seketika menempel dan menumpuk di dalam lubang hidung.
Kepulan asap hitam tersebut berasal dari tungku pemasak kedelai yang berbahan bakar sampah. Sudah lebih dari 10 tahun pengusaha tahu mengonversi kayu bakar dengan bahan bakar sampah karena tergiur harga murah. Terdapat 31 unit usaha produksi tahu di Tropodo yang tersebar di sejumlah dusun.
“Satu truk sampah hanya Rp 200.000 sedangkan kayu bakar Rp 1 juta. Untuk memasak 1 ton kedelai setiap hari, butuh dua truk sampah,” ujar Jumaati, salah satu pengusaha tahu, Selasa (18/6/2019).
Satu truk sampah hanya Rp 200.000 sedangkan kayu bakar Rp 1 juta. Untuk memasak 1 ton kedelai setiap hari, butuh dua truk sampah
Dari Jumaati diketahui sampah berasal dari Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerjo yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Tropodo. Di sana banyak pengepul yang menyediakan sampah dengan kondisi kering sehingga siap dibakar. Pengusaha tahu sejatinya bisa membeli sampah langsung dari pabrik namun mereka enggan karena kondisinya basah dan belum terpilah.
Di Desa Bangun, sejumlah anak bermain di atas tumpukan sampah di sebuah lahan kosong. Ada yang berlarian, ada yang duduk-duduk sambil mengudap jajanan instan. Anak-anak tampak riang dan tak terlihat risih saat bersembunyi di antara sampah-sampah yang terserak di tanah.
Desa padat penduduk ini dihuni warga asli maupun pendatang yang mayoritas bekerja di pabrik maupun pemilah sampah. Di pekarangan-pekarangan lahan kosong rumah warga tempat dijejali tumpukan sampah.
Annisa, salah satu warga Desa Bangun, mengatakan sampah-sampah itu diperoleh dari beberapa pabrik kertas di Jatim. Sampah itu tidak diberikan secara cuma-cuma melainkan harus dibayar. Sampah dari salah satu pabrik kertas di Mojokerto misalnya, dihargai Rp 250.000 hingga Rp 300.000 per truk.
Sampah dari pabrik itu kemudian dipilah untuk diambil yang bernilai jual seperti kaleng minuman, tutup botol, plastik polos dan plastik berwarna (ada ukuran tertentu bukan cacahan), serta aluminium foil. Dari satu truk sampah, yang bisa dipilah tak sampai 25 persennya. Sisanya sebanyak 75 persen tak bisa dikelola dan menjadi residu.
Dari satu truk sampah, yang bisa dipilah tak sampai 25 persennya. Sisanya sebanyak 75 persen tak bisa dikelola dan menjadi residu
Sampah yang dibeli dari pabrik diduga sampah impor, jenisnya beragam tetapi mayoritas sampah rumah tangga seperti sampah kemasan makanan dan minuman. Dugaan itu berasal dari label yang ditemukan pada kemasan yang menginformasikan asalnya ada dari Australia, Amerika, Inggris, Kanada, bahkan Yunani.
Sumber sampah terkonfirmasi saat Kompas mengikuti kunjungan kerja Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa ke salah satu pabrik kertas di Mojokerto, Rabu (19/6). Industri ini merupakan satu dari belasan industri yang menggunakan bahan baku kertas daur ulang impor di Jatim.
Kertas daur ulang impor itu tersusupi sampah termasuk sampah plastik bahkan limbah B3. Komposisi material susupan ini bervariasi dalam setiap kemasan kertas daur ulang impor. Perusahaan mengklaim jumlahnya sekitar 2-5 persen per kemasan.
Untuk bahan bakar
Annisa menambahkan, sisa sampah yang tidak bisa dikelola, dulu tak bernilai. Sampah dipakai campuran tanah urug atau dibiarkan teronggok. Sebagian warga memanfaatkannya untuk bahan bakar memasak di dapur menggantikan kayu bakar. Agar mudah dibakar, sisa sampah dikeringkan lebih dulu dengan cara dibiarkan di pekarangan atau lahan kosong yang mudah terpapar sinar matahari.
Sekitar 10 tahun belakangan, sisa sampah kering justru ramai peminat. Banyak pelaku usaha kecil seperti pabrik tahu dan pabrik kerupuk menggunakannya sebagai bahan bakar pada proses produksi. Harga jualnya Rp 50.000 hingga Rp 80.000 per truk, belum termasuk ongkos transportasi.
Persoalan terjadi biasanya saat musim hujan karena sampah yang tak terkelola kondisinya basah sehingga sulit dijual sebagai bahan bakar. Sisa sampah itu menumpuk, menguarkan bau tak sedap, mengundang lalat, dan rentan menjadi biang beragam penyakit.
Namun persoalan kesehatan dan lingkungan tampaknya tak mendapat cukup perhatian dari masyarakat. Bahkan demi melindungi kepentingan ekonominya, warga Desa Bangun dengan tegas meminta kepada Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Pelaksana tugas Bupati Mojokerto Pungkasiadi, agar tidak melarang kehadiran sampah tersebut. Warga mengklaim dari hasil sampah itulah, anak-anak mereka mampu bersekolah.
Demi melindungi kepentingan ekonominya, warga meminta Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Pelaksana tugas Bupati Mojokerto Pungkasiadi, agar tidak melarang kehadiran sampah tersebut
Naidah, salah satu pemilah sampah mengaku bisa meraup Rp 40.000 sehari dari hasil kerjanya. Uang itu mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Karena itulah dia berharap sampah terus mengalir ke desanya agar rejekinya tetap lancar.
Menjawab permintaan warga, Gubernur Jatim berpesan agar masyarakat memperhatikan kesehatan. “Kalau uang banyak tapi panjenengan (anda) sakit ya buat apa,” kata Khofifah.
Khofifah sejatinya ingin mengingatkan agar masyarakat tidak mengorbankan kesehatan demi kepentingan ekonomi semata. Bergelut dengan sampah berdampak buruk terhadap kesehatan karena rentan tertular beragam penyakit. Apalagi tanpa Alat Pelindung Diri (APD) seperti masker, sarung tangan, dan sepatu.
Sampah yang menumpuk di tanah juga berisiko mencemari lingkungan terutama air tanah. Pencemaran itu berasal dari lindi yakni limbah cair yang dihasilkan dari timbunan sampah akibat masuknya air dari luar seperti hujan. Adapun kondisi lindi dipengaruhi oleh karakter sampah.
Sementara itu observasi Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo di Desa Tropodo, kondisi sampah tidak tidak hanya berupa plastik, melainkan aluminium foil serta terindikasi mengandung limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo Syaf Satriawan mengatakan asap pembakaran berwarna hitam pekat terindikasi mengandung karbondioksida, karbon monoksida, dan hidrogen sulfida.
Kondisi sampah tidak tidak hanya berupa plastik, melainkan aluminium foil serta terindikasi mengandung limbah bahan beracun dan berbahaya
Selain itu ada gas berbahaya yang tidak berwarna dan tidak berbau yang diduga merupakan dioksin, furan, dan timbal. Gas ini bersifat meracuni organ pernafasan dan bisa memicu kanker (karsinogenik).
“Perlu kajian lebih detil mengenai tingkat pajanan dan lama paparan terhadap dampak kesehatan terutama pada organ saluran pernafasan. Laporan bidan desa menyebutkan data kejadian ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) tinggi,” kata Syaf Satriawan.
Sidoarjo dan Mojokerto sejatinya hanya secuil potret buruk dampak dari praktik \'penjajahan\' sampah impor di bumi nusantara. Tak hanya di Jawa Timur, di Karawang Jawa Barat hingga Serang Banten pun kondisi serupa juga terjadi. Potret itu takkan bermakna jika tanpa upaya nyata dari para pemangku kepentingan untuk mencari solusinya. (BAY/MEL/ICH)