Kebijakan Pengendalian Harga Beras Turut Sebabkan Kemiskinan di Perdesaan
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan kebijakan pangan yang menekan petani menjadi salah satu penyebab kemiskinan di perdesaan. Sebagian besar penduduk desa mengandalkan pertanian sebagai mata pencarian.
Kebijakan pengendalian harga pangan, terutama beras, ikut menekan petani. Komoditas beras menjadi kontributor tertinggi pada garis kemiskinan, terutama di perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, proporsi beras terhadap garis kemiskinan di perdesaan sebesar 25,97 persen, sedangkan di perkotaan 20,59 persen pada Maret 2019.
Salah satu kebijakan beras yang berlaku di hulu adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras. Aturan yang berlaku sejak Maret 2015 ini menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani Rp 3.700 per kilogram (kg).
Padahal, Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) meriset, ongkos produksi gabah di tingkat petani pada 2019 mencapai Rp 4.523 per kg. Adapun BPS merilis, GKP di tingkat petani pada Maret 2019 sebesar Rp 4.604. Artinya, HPP tak lagi relevan, baik terhadap ongkos produksi petani maupun harga GKP yang terbentuk oleh mekanisme pasar.
Padahal, BPS mendata, mayoritas penduduk desa mengandalkan pertanian sebagai mata pencariannya. ”Hal ini menggambarkan kebijakan pangan yang tidak berpihak kepada petani dan menekan petani menjadi salah satu penyebab kemiskinan di perdesaan. Ironinya, petani sebagai produsen beras tinggal di desa,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ketua Umum AB2TI Dwi Andreas Santosa saat dihubungi, Selasa (16/7/2019).
Sementara itu, baik di kota maupun desa, komoditas makanan menjadi penyumbang terbesar garis kemiskinan. Kontribusinya pada garis kemiskinan di perkotaan sebesar 71,64 persen, sedangkan di perdesaan 76,48 persen.
Pada Maret 2019, rata-rata garis kemiskinan nasional sebesar Rp 425.250 per kapita per bulan atau naik 5,99 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Garis kemiskinan di perkotaan Rp 442.062 per kapita per bulan, sedangkan di perdesaan Rp 404.398 per kapita per bulan.
BPS mendefinisikan, garis kemiskinan merupakan batas antara penduduk yang tergolong miskin dan tidak miskin. Jika pengeluaran seseorang di bawah garis kemiskinan, dia termasuk dalam penduduk miskin.
Adapun pada Maret 2019, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 25,14 juta orang. Sebanyak 15,15 juta jiwa di antaranya atau 60,26 persen berada di perdesaan.
Menurut Dwi, untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan yang diakibatkan kebijakan beras, pemerintah harus berani menaikkan pendapatan petani hingga dua kali lipat. ”Dampaknya memang harga beras akan naik. Namun, kenaikan harga beras itu akan terkompensasi dengan peningkatan daya beli petani dan keluarnya petani dari garis kemiskinan,” katanya.
Di sisi lain, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi mengatakan perlu kehati-hatian dalam membentuk harga beras. Pemerintah tak ingin kenaikan harga di tingkat petani berdampak pada inflasi di tingkat konsumen.
Untuk mengatasi kemiskinan di perdesaan yang diakibatkan kebijakan beras, pemerintah harus berani menaikkan pendapatan petani hingga dua kali lipat
Kebijakan yang mengatur beras di sisi hilir ialah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras. HET beras kualitas medium di tingkat konsumen senilai Rp 9.450 per kg, Rp 9.950 per kg, dan Rp 10.250 per kg bergantung wilayahnya.
BPS juga menggunakan nilai tukar petani (NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan yang menggambarkan profil kemiskinan nasional. Sepanjang Januari-Maret 2019, NTP turun dengan nilai 103,33 (Januari), 102,94 (Februari), dan 102,23 (Maret).
Oleh sebab itu, Agung menyatakan, pihaknya akan mengevaluasi HPP pada Inpres Nomor 5 Tahun 2015. Angka tersebut dievaluasi salah satunya karena beras berkontribusi tertinggi pada angka garis kemiskinan pada Maret 2019. ”Kami akan menaikkan HPP di tingkat petani,” katanya.
Tingkatkan produktivitas
Selain meningkatkan HPP, Agung mengatakan, pemerintah akan meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian. Caranya dengan bantuan benih, pupuk, dan alat mesin pertanian.
Agung berharap peningkatan produksi dan produktivitas dapat menurunkan modal di tingkat petani. ”Penurunan modal seharusnya menghasilkan margin keuntungan bagi petani terhadap harga yang terbentuk mekanisme pasar. Hal ini berdampak pada kesejahteraan petani,” katanya.
Agar bantuan pertanian pemerintah tersebut dapat berdampak signifikan pada kesejahteraan petani, Dwi berpendapat, penyalurannya mesti tepat sasaran, akuntabel, dan dapat ditelusuri. Model penyalurannya dapat berupa petani mendapatkan uang nontunai setiap bulan untuk dibelanjakan benih, pupuk, atau alat mesin pertanian di agen resmi yang terdata di pemerintahan. (JUD)