Kembali Meningkat, Rasio Gini Daerah Istimewa Yogyakarta Tertinggi Se-Indonesia
Tingkat ketimpangan ekonomi penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kembali mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari rasio gini DIY pada Maret 2019 yang mengalami kenaikan dibandingkan dengan September 2018. Dibandingkan dengan provinsi lain, rasio gini DIY merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Tingkat ketimpangan ekonomi penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta kembali mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari rasio gini DIY pada Maret 2019 yang mengalami kenaikan dibandingkan dengan September 2018. Dibandingkan dengan provinsi lain, rasio gini DIY merupakan yang tertinggi di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Senin (15/7/2019), rasio gini DIY pada Maret 2019 sebesar 0,423 atau naik 0,001 poin dibandingkan dengan rasio gini pada September 2018 yang sebesar 0,422.
Di antara 34 provinsi di Indonesia, rasio gini DIY itu menjadi yang tertinggi. Rasio gini DIY pada Maret 2019 juga lebih tinggi dibandingkan dengan rasio gini nasional pada periode sama, yakni 0,382.
Rasio gini adalah indikator ketimpangan berdasarkan tingkat pengeluaran penduduk. Nilai 0 menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan 1 menunjukkan ketimpangan paling parah. Artinya, makin tinggi angka rasio gini, ketimpangan ekonomi juga makin tinggi.
Sebelumnya, pada kurun September 2016-Maret 2018, rasio gini di DIY meningkat dari 0,425 menjadi 0,441. Namun, setelah itu, rasio gini di DIY turun menjadi 0,422 pada September 2018. Akan tetapi, pada Maret lalu, rasio gini DIY kembali naik meski belum setinggi kondisi Maret 2018.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mudrajad Kuncoro, Selasa (16/7/2019), di Yogyakarta, mengatakan, tingginya rasio gini di DIY antara lain disebabkan oleh ketimpangan antarwilayah di DIY.
Salah satu akar masalahnya adalah ketimpangan antardaerah. Pusat ekonomi DIY itu, kan, berada di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman.
Menurut Mudrajad, dari lima kabupaten/kota di DIY, pertumbuhan ekonomi di DIY selama ini cenderung memusat ke dua wilayah saja, yakni Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Sementara itu, wilayah lain, terutama Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo, cenderung tertinggal.
”Salah satu akar masalahnya adalah ketimpangan antardaerah. Pusat ekonomi DIY itu, kan, berada di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman,” ujar Mudrajad.
Ketimpangan antarwilayah itu antara lain terlihat dari produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten/kota di DIY. Berdasarkan data BPS DIY, dari lima kabupaten/kota di DIY tahun 2017, Kulon Progo merupakan wilayah dengan nilai PDRB terkecil, yakni Rp 9.603 miliar. Sementara itu, Kabupaten Sleman memiliki PDRB terbesar, yakni 40.087 miliar atau lebih dari 4 kali lipat PDRB Kulon Progo.
Bandara baru
Mudrajad memaparkan, untuk mengatasi tingginya ketimpangan ekonomi, Pemerintah DIY harus memastikan sejumlah proyek besar di provinsi tersebut benar-benar memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat menengah ke bawah. Dia mencontohkan, pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo harus bermanfaat untuk usaha kecil menengah (UKM) dan penduduk sekitarnya.
”Dampak bandara baru bagi ekonomi lokal harus dioptimalkan. Masyarakat dan UKM di sekitar bandara harus mendapatkan manfaat dari keberadaan bandara. Misalnya, UKM mendapat prioritas untuk berjualan di bandara supaya mereka tidak menjadi penonton di daerah sendiri,” ujar Mudrajad.
Dia menambahkan, pemda DIY juga mesti memperbaiki infrastruktur menuju sejumlah kawasan wisata di Gunung Kidul. Hal ini penting agar makin banyak wisatawan yang datang ke Gunung Kidul sehingga perekonomian di kabupaten tersebut terus tumbuh.
Selain itu, Mudrajad mengatakan, program-program untuk mengatasi kemiskinan di DIY juga mesti dievaluasi. Evaluasi penting untuk memastikan agar sasaran program-program tersebut benar-benar tepat. ”Verifikasi data kemiskinan per kecamatan, per desa, itu hukumnya wajib dilakukan oleh pemda,” katanya.
Sisi positif
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, tingginya rasio gini di DIY antara lain disebabkan oleh perbedaan pendapatan pekerja di sektor formal dengan pendapatan yang diperoleh pekerja informal. Sultan mencontohkan, pendapatan para pelayan warung makan kaki lima, misalnya, jauh di bawah pendapatan para pegawai negeri sipil.
Rasio gini DIY yang tertinggi di Indonesia itu jangan dilihat dari sisi negatifnya saja karena ini juga ada positifnya. Ini, kan, menunjukkan di DIY ada pertumbuhan. Kalau enggak tumbuh, ya sebetulnya tidak ada persoalan rasio gini.
Meski begitu, Sultan HB X meminta tingginya rasio gini di DIY tidak hanya dilihat dari sisi negatif. Itu karena, menurut Sultan, rasio gini yang tinggi juga memiliki sisi positif.
”Rasio gini DIY yang tertinggi di Indonesia itu jangan dilihat dari sisi negatifnya saja karena ini juga ada positifnya. Ini, kan, menunjukkan di DIY ada pertumbuhan. Kalau enggak tumbuh, ya, sebetulnya tidak ada persoalan rasio gini,” kata Sultan.
Namun, Sultan mengakui, pertumbuhan ekonomi di DIY belum bisa dinikmati oleh semua pihak. ”Dengan pertumbuhan yang ada, peluang warga masyarakat itu berbeda-beda. Yang mampu bisa ikut menikmati, yang tidak mampu tidak mendapatkan porsi,” ujarnya.
Sultan mengatakan, Pemprov DIY terus berupaya menurunkan tingkat kemiskinan dan rasio gini di DIY, antara lain dengan memberikan pelatihan kepada masyarakat agar mendapatkan peluang kerja yang lebih baik. Salah satu contohnya, Pemerintah DIY bekerja sama dengan PT Angkasa Pura I menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat di sekitar Bandara Internasional Yogyakarta.
Pelatihan diberikan agar mereka bisa diterima bekerja di Bandara Internasional Yogyakarta sehingga pendapatan mereka pun meningkat. ”Masyarakat Kulon Progo kita didik bersama-sama Angkasa Pura supaya penghasilannya meningkat dan punya kompetensi,” ujar Sultan.
Selain itu, Sultan menambahkan, Pemerintah DIY juga berupaya menekan ketimpangan antarwilayah di DIY. Salah satu caranya adalah dengan memprioritaskan pembangunan di wilayah yang perekonomiannya tertinggal, seperti Kulon Progo dan Gunung Kidul. ”Kami mendahulukan Gunung Kidul dan Kulon Progo,” ujarnya.