Koridor Konstitusi Perselisihan Pemilu
Mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan sengketa pemilu bukanlah yang mudah. Gugatan keberpihakan, netralitas, hingga transparansi terkadang mengiringi penyelesaian perselisihan.
Perselisihan hampir tak mungkin terelakkan dalam pemilihan umum. Sengketa pemilu harus diselesaikan dengan jalur konstitusi yang transparan agar kualitas demokrasi tetap terjaga.
Mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan sengketa pemilu bukanlah yang mudah. Gugatan keberpihakan, netralitas, hingga transparansi terkadang mengiringi penyelesaian perselisihan. Namun, prinsip-prinsip keadilan secara global setidaknya dapat memberikan gambaran atas cara penyelesaian sengketa pemilu.
Secara umum, proses peradilan sengketa pemilu memiliki hulu yang sama dengan perkara lain. Karena yang paling dasar dalam proses peradilan adalah bahwa setiap orang berhak atas persidangan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten, independen, dan tidak memihak. Hal ini diatur dalam Pasal 14 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Pasal 10 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) oleh PBB.
Dokumen internasional yang lebih spesifik mengarah ke pengadilan sengketa pemilu ialah draf ”Freedom and Non-Discrimination in the Matter of Political Rights General Principles on” yang dibuat oleh PBB dan pertama kali diadopsi pada 1962.
Dokumen ini menjadi yang pertama dalam mengakui bahwa pihak atau kandidat yang merasa dirugikan berhak untuk menggugat nasibnya di hadapan pengadilan yang tidak memihak dan independen. Terlebih lagi, draf ini juga mendorong bahwa keputusan dari institusi penyelenggara pemilu harus bisa ditinjau ulang oleh institusi yang independen dan tidak memihak.
Ada pula ”The Declaration Criteria for Free and Fair Elections” yang dibuat oleh Inter-Parliamentary Union dan diadopsi pada 1994. Deklarasi ini menjelaskan secara lebih luas perihal ruang lingkup hak untuk pemulihan atas pelanggaran hak-hak politik dan pemilihan umum beserta dengan ketentuan atas pelanggaran hak-hak pencalonan, partai, dan kampanye.
Selain itu, dokumen ini juga mencoba untuk memberikan arahan atas prosedur untuk menyelesaikan perkara sengketa pemilu secara adil dan cepat. Berbeda dengan dokumen PBB sebelumnya, dokumen ini secara gamblang menekankan pentingnya komisi pemilihan umum dalam menentukan solusi dari perselisihan dalam pemilu dan prinsip keadilan prosedural dalam penyelesaian sengketa pemilu.
Prinsip
Keadilan prosedural adalah keadilan yang berdasar pada ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal. Hal-hal yang berkaitan dengan keadilan prosedural adalah seperti tenggat atau syarat beracara di sebuah pengadilan.
Dalam menciptakan keadilan prosedural, dua prinsip yang harus dipegang teguh ialah prinsip due process law dan open justice. Makna due process law adalah prinsip di mana negara harus menghormati semua hak hukum yang dimiliki kepada seseorang dalam proses persidangan.
Unsur-unsur dasar dari prinsip due process law ialah proses mendengarkan permohonan, adanya penasihat hukum, pembelaan dalam persidangan, dan pengadilan yang adil dan tidak memihak. Sementara, open justice ialah prinsip hukum di mana proses peradilan harus terbuka untuk umum, termasuk akses kepada publik atas dokumen pengadilan dan persidangan secara terbuka.
Dalam praktik penyelesaian sengketa pemilu, keadilan prosedural beserta prinsip di dalamnya dapat tercapai jika empat faktor telah terpenuhi. Keempat faktor tersebut adalah yurisdiksi, ketepatan waktu, pelaksanaan putusan, dan penghukuman pihak yang terbukti bersalah.
Batas yuridiksi atas badan yang menangani sengketa pemilu adalah faktor pertama dalam tercapainya keadilan prosedural. Secara umum, perkara sengketa pemilu dapat diselesaikan melalui pengadilan permanen seperti di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi dan pengadilan semipermanen yang dilaksanakan oleh badan pengelola pemilu.
Faktor ketepatan waktu mengacu pada seberapa lama proses penyelesaian sengketa, mulai dari tahap pengajuan permohonan perkara hingga tahap pelaksanaan putusan. Hal ini menjadi penting karena idealnya, penyelesaian sengketa tidak mengundur jadwal pemilu yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi sistem peradilan, bagaimana melaksanakan pengadilan yang adil, namun tetap efektif.
Selaras dengan faktor ketepatan waktu, implementasi putusan yang tepat keputusan yang diambil oleh pengadilan atau badan penyelenggara pemilu sangat penting dalam sistem penyelesaian sengketa pemilu.
Pada akhirnya, seluruh proses persidangan tidak akan ada artinya jika putusannya tidak diimplementasikan dan tidak ada tindakan korektif yang diambil. Maka dari itu, kesinambungan peran lembaga hukum dengan lembaga pelaksana pemilu menjadi penting, di mana lembaga pelaksana pemilu pada akhirnya dapat segera mengeksekusi putusan pengadilan.
Mahkamah Konstitusi
Sengketa atau perselisihan terkait pemilu di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu sengketa dalam proses pemilu dan sengketa hasil pemilu. Sengketa pertama biasanya terjadi antar-peserta pemilu atau antarkandidat. Untuk menyelesaikannya, perselisihan ini ditangani Badan Pengawas Pemilu.
Sengketa berikutnya terkait hasil pemilu, yaitu perselisihan antara peserta pemilu dan KPU sebagai penyelenggara pemilu mengenai penetapan secara nasional perolehan suara.
Berdasarkan konstitusi, perselisihan hasil pemilu ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Aturan ini tertuang dalam Pasal 24 C Ayat 1 UUD 1945 yang kemudian diturunkan dalam Pasal 474 Ayat (1) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal itu menyebutkan, ”Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, peserta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi”.
Penyelenggaraan dua kali pemilihan umum (pemilu) terakhir di Indonesia diwarnai gugatan hasil pemilu. Pada Pemilu 17 April 2019, Mahkamah Konstitusi menerima pengajuan permohonan sengketa dari 10 partai politik dan 10 calon anggota DPD dengan total 339 perkara. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan pengajuan sengketa Pemilu 2014 yang mencapai 903 permohonan.
Penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia dapat dicermati menggunakan parameter serta prinsip due process dan open justice. Pertama, pihak yang menemukan kejanggalan dalam proses pemilu dapat mengajukan aduan ke Bawaslu. Sementara, jika mendapati indikasi kecurangan hasil pemilu yang ditetapkan oleh KPU, dapat menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.
Diseminasi informasi terkait dengan tata cara mengajukan aduan dan permohonan gugatan dapat secara mudah diakses di laman resmi Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi.
Prinsip open justice tergambar dari keterbukaan pengadilan. Sidang pengadilan digelar dengan terbuka dengan menyebutkan tanggal, lokasi sidang, agenda persidangan, hingga hakim-hakim konstitusi yang akan memimpin sidang.
Tidak jarang, persidangan tersebut diliput dan disiarkan langsung oleh media massa. Dengan begitu, publik dapat mengetahui dengan gamblang apa saja yang terjadi selama sidang berlangsung.
Kedua, adanya batasan wewenang penanganan perselisihan pemilihan umum di Indonesia, dalam hal ini adalah Bawaslu dan MK. Dengan adanya dikotomi ini, batasan wewenang antara Bawaslu dan MK pun menjadi jelas. Hal ini tampak ketika ada beberapa persoalan yang dibawa ke MK pada penyelesaian sengketa Pemilu 2019 yang tidak dibahas karena sebelumnya sudah ditangani Bawaslu.
Ketiga, prinsip ketepatan waktu. Permasalahan sengketa pemilu dapat diselesaikan dalam tempo waktu kurang dari 1 bulan dan bahkan lebih cepat dari jadwal yang sebelumnya dibuat.
Faktor berikutnya adalah implementasi putusan. Dalam hal ini, kesinambungan antara Mahkamah Konstitusi dan KPU selaku penyelenggara pemilu. KPU sebagai penyelenggara pemilu melaksanakan keputusan MK sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, yaitu maksimal tiga hari setelah putusan MK.
Koridor
Jalur konstitusi juga dijalankan di negara-negara dunia, seperti Meksiko dan Amerika Serikat. Perselisihan antara pihak-pihak yang terlibat sengketa pemilu melalui konstitusi menjadi kunci penyelesaian perselisihan. Koridor hukum dan konstitusi yang kredibel dipercaya oleh rakyat menjadi pilihan untuk menjaga keberlangsungan proses demokrasi.
Di Meksiko, peradilan khusus pemilu ditangani Tribunal Electoral del Poder Judicial de la Federacion (TRIFE). Lembaga tersebut berwenang mengadili sengketa proses yang terjadi selama pelaksanaan pemilu.
Selain itu, Tribunal Electoral juga berhak mengadili sengketa hasil pemilu. TRIFE terdiri dari tujuh hakim dan putusannya bersifat final dan mengikat. Lembaga tersebut adalah bagian dari kekuasaan yudikatif yang ada di Meksiko.
Amerika Serikat juga memiliki mekanisme penyelesaian perselisihan pemilu melalui pengadilan. Proses penyelesaian ditangani lembaga Mahkamah Agung di tingkat Distrik dan Federal. Contohnya saat pemilihan presiden Amerika Serikat pada 2000.
Ketika itu, dua kandidat presiden, Al Gore dari Demokrat serta George W Bush dari Republik, ditentukan nasibnya di Negara Bagian Florida. Bush menang hanya dengan selisih dukungan tipis, yaitu 537 suara, dari Gore untuk merebut seluruh 25 electoral votes Florida sekaligus memenangi kursi Presiden AS.
Selisih hasil suara yang begitu ketat di Florida antara Bush dan Gore tersebut menimbulkan pertarungan legal di antara kedua kubu di jalur konstitusi melalui Mahkamah Agung. Bush akhirnya menjadi presiden setelah Mahkamah Agung AS membatalkan keputusan Mahkamah Agung FLorida yang memerintahkan penghitungan ulang secara manual.
Perselisihan pemilu tentu tidak dapat memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa. Namun, kejelasan proses dan keterbukaan persidangan merupakan prinsip yang harus dipegang teguh sebagai rangkaian penyelesaian perselisihan dengan adil. Inilah koridor hukum yang harus dilalui para peserta dan penyelenggara pemilu untuk tetap menjaga kualitas demokrasi di muka bumi. (LITBANG KOMPAS)