Ratusan ton sampah yang dihasilkan warga Manado, Sulawesi Utara, telah menggunung di ruang terbuka Tempat Pembuangan Akhir Sumompo. Pengelolaan sampah lewat sistem sanitary landfill tak dapat diterapkan karena terbentur keterbatasan lahan
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Ratusan ton sampah yang dihasilkan warga Manado, Sulawesi Utara, telah menggunung di ruang terbuka Tempat Pembuangan Akhir Sumompo. Pengelolaan sampah lewat sistem sanitarylandfill tak dapat diterapkan karena terbentur keterbatasan lahan. Pada saat yang sama, tempat pembuangan akhir regional yang lebih luas di Minahasa Utara belum dibangun karena masih menunggu perizinan.
Di dekat gerbang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumompo di Kelurahan Buha, Kecamatan Mapanget, puluhan pemulung memungut botol-botol plastik di atas bukit sampah, Selasa (16/7/2019). Silih berganti, truk biru milik pemerintah kota dan truk putih milik swasta datang melepaskan muatan sampahnya di tumpukan yang sudah ada.
Sampah yang diturunkan merupakan campuran dari segala jenis sampah, seperti sisa makanan, plastik, hingga botol infus. Tas dan botol plastik, sayuran, hingga pisang busuk menyusun bukit ampah tersebut. Bau busuk menyengat menguar di segala penjuru bukit yang tingginya mencapai 15-20 meter itu, sementara debu dan sampah beterbangan tertiup angin.
Melda (34), warga yang tinggal sekitar 300 meter dari gerbang TPA mengatakan, bau sampah menguar ke mana-mana jika angin mengarah ke rumahnya. Anton (50), warga lainnya, juga sependapat. “Saat musim hujan, baunya jauh lebih kuat,” katanya.
Kepala TPA Sumompo Carlos Mawuntu mengatakan, jumlah sampah di Manado telah memang telah berlipat ganda. Akibatnya, tidak ada lagi lahan di TPA seluas 13 meter persegi itu yang dapat digunakan untuk sistem sanitary landfill. Sistem ini adalah penimbunan sampah berselang-seling antara sampah dan tanah yang dilengkapi saluran air lindi serta saluran penguapan gas pembusukan.
“Pada awal berdiri tahun 1974, TPA ini adalah jurang. Sampah hanya sekitar 5-6 ton per hari. Seiring pertumbuhan kota, sekarang sampah bisa 350-400 ton per hari. Jurang yang dulunya curam sekarang sudah jadi gunung seperti sekarang,” kata Carlos.
Pada awal berdiri tahun 1974, TPA ini adalah jurang. Sampah hanya sekitar 5-6 ton per hari. Seiring pertumbuhan kota, sekarang sampah bisa 350-400 ton per hari. Jurang yang dulunya curam sekarang sudah jadi gunung seperti sekarang
Saat ini, ada sekitar 55 truk sampah dari 11 kecamatan di Manado yang silih berganti datang membuang sampah di TPA Sumompo. Hampir semua mal, rumah makan, dan rumah sakit juga membuang sampahnya di situ.
Adapun pembuangan sampah tanpa ditimbun tanah (open dumping) dimulai pascabanjir bandang Manado tahun 2014 lalu. Sampah-sampah yang terbawa air sungai di kota dipindahkan semuanya ke TPA Sumompo. Pasokan ratusan ton sampah setiap hari pun terpaksa dibiarkan menggunung tanpa ditutup tanah.
“Untuk sementara, sampah yang ada kami ratakan dengan ekskavator, lalu nanti ditutup menjadi controlled landfill,” kata Carlos. Controlled landfill di TPA Sumompo berupa tanah berstruktur lunak yang ditanami pipa-pipa putih untuk saluran gas pembusukan sampah.
Secara terpisah, Wali Kota Manado Vicky Lumentut mengatakan, open dumping di TPA Sumompo mengakibatkan Manado mendapatkan nilai 0 saat penilaian penganugerahan Adipura pada 2018 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Manado dinobatkan sebagai kota terkotor.
Open dumping melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah. “Meskipun tidak diizinkan undang-undang, kondisi sekarang memaksa kita melakukan open dumping. Ada kelebihan muatan sampah setiap hari,” kata Vicky.
Karena itu, TPA Sumompo akan ditutup dalam beberapa tahun ke depan dan diubah menjadi taman kota. Tempat pembuangan sampah pun akan dipindahkan ke Tempat Pembuangan Akhir Regional Iloilo di Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sulut Steve Kepel mengatakan, TPA regional seluas 46,89 hektar itu direncanakan menampung sampah dari Manado, Bitung, Kabupaten Minahasa, dan Minahasa Utara. “Sekitar 20 hektar akan dijadikan sanitary landfill, dibangun dengan dana APBN sebesar Rp 152 miliar oleh Balai Cipta Karya Sulut,” kata Steve.
Sisanya, yaitu 26 hektar, akan dijadikan area pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dengan kapasitas 600-1.000 ton sampah per hari. Bagian itu akan dibangun investor dengan teknologi yang tepat. Steve mengatakan, sudah ada sekitar 10 investor yang mengantre, antara lain dari Jepang, China, dan Jerman. Nilai investasi diperkirakan mencapai Rp 1 triliun.
Akan tetapi, hingga kini, pembangunan belum dapat dimulai karena tak sesuai dengan rancangan tata ruang dan wilayah (RTRW) Kabupaten Minahasa Utara. Lahan yang direncanakan menjadi lokasi TPA regional masih tercatat sebagai lahan permukiman.
“Saat ini, kami sedang menunggu diskresi Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) untuk memberi rekomendasi menjadikan kawasan itu TPA regional. Suratnya sedang diproses di Kementerian ATR. Setelah rekomendasi keluar, lelang akan langsung kami gelar agar pembangunan bisa segera dimulai," kata dia.
Steve memperkirakan, pembangunan dapat dimulai pada 2020 dan akan berlangsung selama dua tahun. “Untuk sementara, pengolahan sampah, termasuk di TPA Sumompo, dikembalikan ke pemerintah masing-masing kota atau kabupaten,” kata Steve.