Korporasi Didorong Terapkan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia
Perusahaan yang sudah tercatat di bursa saham didorong untuk menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ini untuk mengantisipasi dampak sosial yang ditimbulkan perusahaan di tengah arus liberalisasi perdagangan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan yang sudah tercatat di bursa saham didorong untuk menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ini untuk mengantisipasi dampak sosial yang ditimbulkan perusahaan di tengah arus liberalisasi perdagangan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menyatakan hal itu dalam Peluncuran Hasil Studi Pemeringkatan Penghormatan Hak Asasi Manusia di 100 Perusahaan Publik di Indonesia, Selasa (16/7/2019), di Jakarta.
Kegiatan itu dihadiri pula Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Goenaryo, Ketua Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) Marzuki Darusman, dan Direktur Operasional FIHRRST Bahtiar Manurung.
Yasonna mengatakan, penghormatan hak asasi manusia (HAM) oleh dunia bisnis telah mengemuka dalam agenda internasional sejak 1990. Ini tak lepas dari liberalisasi perdagangan, deregulasi, dan privatisasi ekonomi dunia.
Fenomena ini yang mendorong lahirnya Panduan Prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Bisnis dan HAM (UNGP). PBB mengesahkan panduan itu pada 2011.
”UNGP itu mendorong perusahaan, baik skala besar maupun kecil, untuk menghormati HAM. Sebab, selain mendatangkan keuntungan ekonomi, kegiatan operasional perusahaan memiliki dampak sosial yang sangat serius. Misalnya saja kebutuhan terhadap lingkungan yang sehat, air bersih, dan pemberdayaan kelompok rentan,” katanya.
Pada Juni 2018-Juni 2019, FIHRRST menggelar studi terhadap perusahaan-perusahaan terkait penerapan UNGP bisnis dan HAM. Dalam studinya, FIHRRST menilai perusahaan dengan 70 indikator yang terangkum dalam tiga tema, yaitu sistem manajemen HAM, isu-isu utama HAM, dan pelaporan kinerja HAM.
Marzuki Darusman menjelaskan, studi ini melibatkan 100 perusahaan publik yang terdaftar di Indeks Kompas100. Saham perusahaan yang terdaftar, selain memiliki likuiditas tinggi, nilai kapitalisasi pasar yang besar, juga merupakan saham-saham yang memiliki fundamental dan berkinerja baik.
”Upaya untuk mendorong perusahaan mematuhi HAM adalah sebuah misi nasional,” katanya.
Bahtiar Manurung menambahkan, dari 100 perusahaan, hanya empat yang berstatus paling tinggi memelopori penerapan prinsip-prinsip HAM atau pioneering dengan rentang nilai 51-86 persen. Pioneering merupakan perusahaan yang telah mengadopsi UNGP. Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Unilever Indonesia Tbk, PT Sawit Subermas Sarana Tbk, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk.
Dari 100 perusahaan, hanya empat yang berstatus paling tinggi memelopori penerapan prinsip-prinsip HAM atau pioneering dengan rentang nilai 51-86 persen.
Di bawah pioneering, ada progreesing (41-50 persen), limited (31-40 persen), dan minimal (di bawah 31 persen). PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan Bukit Asam Tbk termasuk progreesing. PT Semen Indonesia Tbk dan Bank Rakyat Indonesia Tbk berstatus limited. Sementara PT Mas Murni Indonesia Tbk dan Ramayana Lestari Tbk berada di papan bawah atau minimal.
Yasonna berharap, pemeringkatan yang dirilis FIHRRST menjadi bahan evaluasi internal perusahaan untuk mengimplementasikan HAM dari hulu hingga hilir. ”Khusus perusahaan publik implementasi HAM terus didorong sebagai bentuk transparansi. Di Indonesia, ada 600 lebih perusahaan yang tercatat di bursa saham,” katanya.
Menurut Goenaryo, usaha perikanan menjadi salah satu sektor yang rawan pelanggaran HAM. Korban pelanggaran HAM itu merupakan pelaku utama di sektor perikanan.
Mereka adalah orang-orang yang bekerja di kapal penangkapan ikan dan pabrik pengolahan ikan. ”Sistem perekrutan tenaga kerja yang penuh tipu daya, gaji rendah, hingga lingkungan kerja tidak layak menjadi catatan KKP,” katanya.
Untuk itu, KKP menerbitkan peraturan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan. Aturan itu menerapkan tiga syarat bagi kapal yang ingin berlayar, yakni sertifikasi kompetensi anak buah kapal (ABK), asuransi, dan perjanjian kerja laut.
Goenaryo menyebutkan, sampai saat ini, baru 59.000 pekerja perikanan yang diasuransikan oleh perusahaan. Sementara 17.476 pekerja sudah diikat oleh perjanjian kerja laut.
”Perjanjian ini memastikan seluruh hak pekerja terpenuhi. Tanpa sertifikasi kompetensi, asuransi, dan perjanjian kerja laut, sebuah kapal tidak boleh berlayar,” katanya.
Penerapan HAM di sektor perikanan, kata Goenaryo, berguna untuk meningkat mutu produksi. Selain itu, pasar Eropa juga membutuhkan jaminan bahwa ikan yang dibawa ke Eropa diproduksi dengan mematuhi norma ketenagakerjaan.