Turki Selesaikan Instalasi Sistem Rudal S-400 pada 2020
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
ISTANBUL, SELASA - Turki akan menyelesaikan instalasi sistem Rudal S-400 yang dibeli dari Rusia pada April 2020. Pembelian alat utama sistem senjata di luar persetujuan Amerika Serikat dapat membuat Turki menerima sanksi berat.
Selama empat hari terakhir, Turki telah menerima bagian-bagian dari rudal S-400 yang dikirim dari Rusia. Total sebanyak delapan pesawat telah membawa bagian-bagian rudal S-400. Jumlah ini dinyatakan akan bertambah.
“Rudal S-400 adalah sistem pertahanan terkuat melawan pihak yang ingin menyerang Turki. Kami membelinya sebagai investasi bersama dengan Rusia dan akan terus melakukannya,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, di Bandara Ataturk, Istanbul, Senin (15/7/2019).
Dalam kesempatan tersebut, Erdogan juga memberi sinyal potensi kerja sama dengan Rusia di masa depan. Menurut dia, target berikutnya adalah memproduksi sistem pertahanan rudal bersama Rusia.
“Kami mengambil setiap langkah untuk memastikan orang-orang kami tidak menderita akibat pengkhianatan pada 15 Juli 2016 lagi atau yang serupa,” kata Erdogan, yang merujuk terhadap upaya kudeta yang pernah menimpa dirinya.
Selama beberapa tahun terakhir, hubungan Turki dengan negara barat mulai meregang. Pejabat Turki menuding negara barat tidak memberi dukungan yang kuat dalam upaya kudeta pada 2016. Pada saat yang bersamaan, Erdogan mulai dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pembelian senjata dari Rusia telah meningkatkan sentimen negatif terhadap Turki di antara negara yang terikat dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), khususnya Amerika Serikat. AS telah memperingatkan akan memberi sanksi kepada Turki apabila meneruskan pembelian alutsista tersebut.
Sejumlah pejabat AS mengatakan, tindakan Turki tidak sesuai dengan Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA). Selain itu, Turki juga dapat dikeluarkan dari program jet tempur siluman F-35 yang berarti Turki tidak akan mampu membeli jet yang telah dipesannya.
Erdogan menyampaikan, Presiden AS Donald Trump memiliki otoritas untuk mencabut sanksi kepada Turki. AS juga seharusnya mencari “jalan tengah” bagi kedua belah pihak.
Sanksi lain
Di luar isu pembelian senjata dari Rusia, Turki sedang berseteru dengan Uni Eropa. UE menuding Turki melakukan pengeboran minyak dan gas secara ilegal di perairan Siprus. Siprus terbagi menjadi dua sejak diinvasi oleh Turki pada 1974.
Pembelian senjata dari Rusia telah meningkatkan sentimen negatif terhadap Turki di antara negara yang terikat dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), khususnya Amerika Serikat.
UE akhirnya memutuskan untuk memberi sanksi berupa pembatasan kontak dan pendanaan untuk Turki. UE juga sepakat untuk menunda negosiasi Perjanjian Transportasi Udara Komprehensif serta tidak mengadakan pertemuan Dewan Asosiasi antara UE dan Turki untuk sementara waktu.
Ditambah lagi, UE mendukung usulan untuk mengurangi bantuan pra-aksesi untuk Turki pada 2020. UE turut mengundang Bank Investasi Eropa untuk meninjau kembali pemberian pinjamannya di Turki, terutama terkait dengan pinjaman yang didukung oleh pemerintah.
Tuduhan pelanggaran tersebut dibantah Turki. Turki juga bersikeras melanjutkan aktivitas di perairan Siprus.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan, Turki akan melanjutkan pengeboran gas dengan mengirim kapal keempat meskipun Pemerintah Siprus tidak menerima proposal kerja sama yang diajukan oleh pihak Turki Siprus Utara. Adapun hanya Turki yang mengakui Turki Siprus Utara sebagai negara.
Turki menghadapi sejumlah tantangan berat dalam lima tahun terakhir. Selain ancaman kudeta pada 2016 dan memburuknya hubungan dengan AS, perekonomian Turki sedang melemah.
Erdogan, khususnya, juga menerima kritik karena memecat Gubernur Bank Sentral Turki (CBRT), Murat Cetinkaya yang tidak sepakat mengenai suku bunga acuan. Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang mengusung Erdogan juga baru saja kalah dalam pemilu lokal di Istanbul. (REUTERS/AFP)