Sejumlah santri Nahdlatul Ulama membukukan pengalaman kehidupan beragama selama menempuh studi di China. Buku tersebut membawa pesan perdamaian untuk menepis hoaks yang mempertentangkan China dengan Islam.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah santri Nahdlatul Ulama membukukan pengalaman kehidupan beragama selama menempuh studi di China. Buku tersebut membawa pesan perdamaian untuk menepis hoaks yang mempertentangkan China dengan Islam.
Rois Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok Imron Rosyadi Hamid dalam diskusi buku Islam Indonesia dan China: Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok, di Jakarta, Rabu (17/7/2019), mengatakan, buku tersebut merupakan karya 23 santri yang menempuh studi di China. Mereka menuliskan berbagai pengalaman dalam konteks kehidupan beragama selama hidup di negara tersebut.
Dalam diskusi itu, hadir Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj sebagai pembicara kunci. Selain itu, hadir pula sebagai pembedah, Wang Yu Xia dari Asosiasi Islam Guangdong, Soegeng Rahardjo mantan Duta Besar Indonesia untuk China dan Mongolia, serta Iwan Santosa, jurnalis dan penulis sejumlah buku sejarah dan kebudayaan China.
”Penerbitan buku ini diharapkan dapat memberikan perimbangan informasi narasi hoaks yang berkembang di Indonesia,” kata Imron. Ia menambahkan, dalam beberapa waktu terakhir, sentimen anti-China yang mempertentangkannya dengan Islam berkembang di Indonesia. Sentimen tersebut semakin menguat dengan adanya kesalahpahaman mengenai kebebasan beragama di negeri China.
Adapun buku tersebut berisi 23 tulisan yang membahas segala aspek kehidupan beragama bagi Muslim di China, baik warga asli maupun pendatang. Mulai dari kebijakan pemerintah, budaya, cara beribadah, sampai kuliner. Seluruhnya memperlihatkan kehidupan beragama yang kondusif.
Imron menambahkan, kebebasan beragama dan beribadah dijamin dalam Pasal 36 Konstitusi China yang berlaku sejak 1949. Kebebasan itu diperkuat dengan ragam kebijakan lain, misalnya, pada 2016 menerbitkan National Action Plan. Salah satu butir dalam regulasi tersebut adalah memperbaiki sistem pelaksanaan ibadah haji.
Pada 27 Maret 2019, diterbitkan pula Tibet Reform, yang salah satunya mengatur tentang perlindungan sejumlah masjid di Tibet. Selain itu, dalam program lima tahunannya sejak 2016, China juga membangun Islamic Culture Park, kota Islam terbesar di dunia dengan anggaran sekitar Rp 44 triliun. ”Hal-hal tersebut merupakan cara Pemerintah China untuk menghargai keberadaan dan keberlangsungan Islam di sana,” ujar Imron.
Wang Yu Xia menjelaskan, agama Islam sudah masuk ke China sejak berabad-abad yang lalu. Jumlah penganutnya kian banyak, kehidupan beragamanya pun semakin berkembang. Ia mencontohkan, di Provinsi Guangdong saat ini terdapat sekitar 250.000 umat Muslim yang terdiri dari warga asli dan pendatang. Mereka bisa menerapkan kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama dengan nyaman.
Konstitusi negara sudah jelas menetapkan bahwa warga memiliki kebebasan menganut agama, kebebasan itu dihormati, hak dan kepentingan yang sah dilindungi negara, dan kami hidup harmonis dengan sesama warga lain.
Pemerintah juga memberikan anggaran melalui sejumlah asosiasi keagamaan untuk membangun dan memperbaiki masjid. Bahkan, mereka juga memberikan jaminan sosial dan kesehatan bagi para pemuka agama.
Berhubungan erat
Said Aqil Siroj menjelaskan, mempertentangkan China dengan Islam di Indonesia adalah hal yang tidak relevan. Sebab, keduanya memiliki hubungan erat. Muslim China merupakan salah satu penyebar agama Islam yang pertama di Nusantara.
Muslim China membawa agama Islam dengan sejumlah cara, mulai dari masuk ke pemerintahan, perdagangan, hingga perkawinan. Ajaran yang mereka bawa itu diterima masyarakat Nusantara karena membawa nilai kesetaraan antarsesama manusia.
Hubungan antara China dan Nusantara sudah berlangsung sangat lama. Ini tampak pada silang budaya yang dapat kita jumpai pada berbagai macam ekspresi kultural di negeri kita. Selain itu, perkembangan Islam Nusantara juga tidak lepas dari beberapa ulama China yang berdakwah ke kawasan Nusantara.
Menurut Iwan Santosa, selama ini masyarakat Indonesia cenderung melihat China dengan penuh kecurigaan. Hal tersebut merupakan dampak kebijakan Orde Baru dalam konteks Perang Dingin yang menganggap miring bangsa yang berada pada Blok Timur, salah satunya China. ”Hal itu menjadi masalah besar ketika konstelasi dunia sudah berubah, tetapi kita masih memandang China dengan cara yang sama,” ujar Iwan.
Ia menambahkan, berbekal hubungan sejarah dan kesamaan budaya antara Indonesia dan China, NU bisa menjadi pelopor untuk membangun hubungan kedua negara yang berbasis Islam. Ciri khas NU yang mengedepankan pendekatan kultural pun dapat digunakan.
Alih-alih membangun sentimen terhadap China, kata Soegeng Rahardjo, masyarakat dan Pemerintah Indonesia semestinya banyak belajar dari negeri tersebut. Sebab, selama empat dekade terakhir, bangsa China mampu menunjukkan begitu banyak perubahan dan kemajuan yang membawa kemakmuran bagi masyarakat. Bahkan, sejak 2012, negara tersebut sudah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Banyak pihak memprediksi China pun akan menjelma sebagai negara super power.
Menurut Soegeng, keberhasilan tersebut salah satunya disebabkan faktor historis. Bangsa China merupakan bangsa yang melahirkan peradaban awal di dunia.
Terlepas dari itu, sejak 1978, Pemerintah China mampu menunjukkan konsistensi dalam pembangunan. Tidak ada pembangunan yang tidak dilanjutkan meski terjadi pergantian kepemimpinan. Mereka pun setia kepada rencana pembangunan lima tahunan yang berbasis pada pengembangan teknologi.
Selain itu, China juga masih memegang teguh ajaran moral yang hampir sama dengan Indonesia. Ajaran tersebut adalah berbakti kepada negara, leluhur, orangtua, dan guru.