Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan mengevaluasi izin Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna Indonesia di Palembang pascakematian siswa dalam masa bimbingan fisik dan mental. Jika ditemukan pelanggaran terstruktur dari pihak sekolah, pencabutan izin akan diberlakukan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan akan mengevaluasi izin Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna Indonesia di Palembang pascakematian siswa dalam masa bimbingan fisik dan mental. Jika ditemukan pelanggaran terstruktur dari pihak sekolah, pencabutan izin akan diberlakukan.
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Selatan Widodo seusai menjenguk salah satu korban WJ (14) yang masih koma di RS Charitas Palembang, Rabu (17/7/2019). WJ merupakan siswa yang sakit setelah menjalani masa bimbingan fisik dan mental di SMA Taruna Indonesia Palembang Sabtu (13/7).
Widodo menjelaskan, saat ini pihaknya terus melakukan evaluasi terhadap sekolah Taruna Indonesia Palembang, termasuk OF (24), pembina sekolah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kematian DL (14). OF diduga melakukan kekerasan dengan memukul DL dengan bambu.
"Dalam melakukan aktivitas luar sekolah, pihak sekolah tidak mengajukan izin. Padahal, dalam aturan, segala kegiatan yang dilakukan di luar kelas atau sekolah harus berdasarkan izin dari dinas pendidikan sehingga dapat diawasi. Semua program di luar sekolah harus terkontrol,” tegas Widodo.
Menurut Widodo, OF merupakan guru bimbingan konseling yang baru masuk sekitar satu bulan lalu. “Sebagai guru baru, tidak seharusnya diberikan tugas sebagai pembina fisik. Dia juga tidak memiliki kompetensi melakukan pelatihan fisik,” katanya.
Widodo menerangkan, SMA Taruna Indonesia di Palembang sudah beroperasi sejak 15 tahun lalu. Selama ini, tidak ada permasalahan terlebih hingga kasus tewasnya siswa. “Apabila dalam kasus ini terbukti ada pelanggaran berat terstruktur dari pihak sekolah, ada kemungkinan akan ada pencabutan izin,” tegasnya.
Widodo menjelaskan, pelanggaran berat yang dimaksud adalah jika sekolah tidak memberi batasan dalam pelatihan fisik. "Dalam pengenalan sekolah, tidak boleh ada kontak fisik yang dapat membuat anak murid cedera,” kata dia.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengungkapkan, setelah memeriksa sekolah tersebut, tidak ditemukan jadwal untuk melakukan gerak jalan sejauh 14 kilometer. Artinya, kegiatan tersebut di luar agenda yang sudah disiapkan.
“Di akademi kepolisian atau militer saja, jalan sejauh itu dilakukan tiga bulan sebelum pendidikan. Tentu, dengan kondisi yang masih satu minggu dan tubuh yang belum dewasa, anak akan sangat rentan,” katanya.
Retno menyarankan evaluasi total mengingat pada Oktober 2019, izin sekolah akan habis.
Untuk itu, Retno menyarankan evaluasi total mengingat pada Oktober 2019, izin sekolah akan habis. Terkait siswa yang masih menjalani pendidikan, menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan Provinsi Sumsel.
Selain mempertimbangkan izin sekolah, menurut Retno, perlu ada pendampingan bagi anak dan orang tua yang menjadi korban. Untuk WJ yang saat ini masih dirawat di RS diketahui mengalami trauma.
“Dia selalu menjerit mengingat perlakuan yang dialaminya,” ucapnya. Demikian juga dengan orang tua korban yang terlihat sangat shock akan kejadian ini.