Ombudsman RI: Jangan Sampai Terjadi Kedaruratan Proses Hukum
Ombudsman RI menilai, upaya amnesti dalam kasus Baiq Nuril bisa mengarah pada kedaruratan suatu proses hukum. Ini jadi peringatan bagi penegak hukum untuk lebih memperhatikan aturan yang berlaku agar terhindar dari praktik mala-administrasi.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman RI menilai, upaya amnesti dalam kasus Baiq Nuril bisa mengarah pada kedaruratan suatu proses hukum. Ini menjadi peringatan bagi penegak hukum untuk lebih memperhatikan setiap aturan yang berlaku agar terhindar dari praktik mala-administrasi.
”Kami akan melihat setiap proses penegakan hukum. Kalau setiap kasus seperti yang dialami Baiq Nuril kemudian direspons melalui amnesti atau grasi, ini bisa jadi kedaruratan hukum,” kata anggota Ombudsman RI Bidang Hukum, Ninik Rahayu, di Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Keadaan darurat merupakan keadaan di mana prosedur umum demokratis tidak bisa mengatasi masalah. Dalam konteks hukum, darurat hukum terjadi jika prosedur hukum umum tidak dapat menuntaskan kasus yang diperkarakan sehingga selalu berujung pada penyelesaian melalui jalur alternatif di luar pengadilan.
Kasus ini berawal pada 2014 ketika Nuril dilaporkan M, kepala sekolah di SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, tempatnya bekerja, dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menyebarkan konten pornografi secara elektronik. Ibu tiga anak itu dijerat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Nuril dari tuduhan menyebarkan konten pornografi. Namun, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa dan menghukum Nuril 6 bulan kurungan dan denda Rp 500 juta. Nuril mengajukan peninjauan kembali (PK), tetapi juga ditolak MA.
Ninik melanjutkan, amnesti menjadi jalan alternatif di luar pengadilan yang dapat diberikan kepada Nuril. Pemberian amnesti merupakan hak prerogatif presiden yang semata-mata diberikan atas kepentingan negara demi memenuhi rasa keadilan.
Pemberian amnesti merupakan hak prerogatif presiden yang semata-mata diberikan atas kepentingan negara demi memenuhi rasa keadilan.
Kepentingan negara dalam hal ini adalah terkait dengan kewajiban negara untuk melindungi seluruh warga negara dari ketidakadilan. Dengan mendasarkan pada pengertian dalam Pasal 1 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, presiden dapat memberikan amnesti kepada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana.
”Maka, pemberian amnesti sebenarnya tidak menghapus kesalahan yang disematkan pengadilan kasasi dan PK berdasarkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, dengan adanya amnesti, konsekuensi hukum atas putusan bersalah dari pengadilan menjadi hapus,” tutur Ninik.
Ninik menilai, upaya amnesti bagi Nuril merupakan terobosan dari kedaruratan suatu proses hukum. Maka, penting bagi penegak hukum memperhatikan lebih jauh setiap aturan yang berlaku agar dalam penanganan kasus seperti Nuril tidak perlu sampai pada pemberian amnesti ataupun grasi.
Dalam buku berjudul Demokrasi dan Kedaruratan (2019) karya Agus Sudibyo, dijelaskan bahwa keadaan darurat merupakan keadaan di mana prosedur umum demokratis tidak bisa mengatasi masalah. Seharusnya, ini menjadi sesuatu yang jarang terjadi.
Dengan pemerintah mengatakan keadaan darurat, secara tidak langsung kita mengakui pemerintah dan aparat penegak hukum berjalan dengan tidak baik. Jika dibiarkan, masyarakat akan menjadi tidak percaya dan pembangkangan akan sulit dihindari.
Agus yang merupakan anggota Dewan Pers 2019-2022 menuliskan, deklarasi status darurat sejatinya merupakan pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan janji-janji demokrasi. Misalnya supremasi sipil, pemisahan cabang-cabang kekuasaan, kesetaraan dan keadilan, serta kebebasan warga. Prinsip itu dianulir dalam keadaan darurat.
Potensi mala-administrasi
Melalui putusan pleno pada 8 Juli 2019, Ombudsman akan tetap melihat potensi mala-administrasi dalam penanganan kasus Baiq Nuril dan kasus-kasus lain dengan dimensi serupa. Ombudsman akan melakukan kajian hukum mulai dari penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, hingga putusan.
Ninik menyampaikan, dalam proses penyelidikan, Ombudsman akan melihat apakah selain KUHP, KUHAP, dan UU khusus, kepolisian juga sudah menggunakan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Lingkungan Kepolisian Negara RI. Ombudsman akan mengecek terutama di unit kepolisian yang menangani kasus perempuan dan anak.
Sementara pada proses penuntutan juga akan dilihat, apakah jaksa juga mempertimbangkan Surat Edaran Nomor 007/A/JA/11/2011 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Kekerasan terhadap Perempuan.
”Kemudian, dalam proses di MA, apakah MA telah menggunakan atau justru mengabaikan produk hukumnya sendiri, yaitu Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan dalam mengadili kasus Nuril,” ujar Ninik.
Hakim sebagai garda terakhir penegakan hukum dalam mengadili kasus terkait perempuan dan anak wajib menggali dan mengoreksi yang telah dilakukan aparat penegak hukum sebelumnya.
Pertimbangan ditetapkannya ketiga kebijakan tersebut di atas karena mempertimbangkan semakin kompleks dan meningkatnya tindak pidana terhadap perempuan dan anak. Kebijakan ini juga untuk memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap korban. Namun, yang terjadi saat ini malah sebaliknya.
Ninik menilai, hakim sebagai garda terakhir penegakan hukum dalam mengadili kasus terkait perempuan dan anak, termasuk kasus Nuril, wajib menggali dan mengoreksi yang telah dilakukan aparat penegak hukum sebelumnya. Khususnya yang terkait dengan kerentanan akibat diskriminasi jender.
Hakim tidak cukup hanya mempertimbangkan tuntutan dan dakwaan yang dibuat jaksa sebagaimana kasus-kasus tindak pidana pada umumnya. Hakim juga wajib menggali potensi kekerasan berbasis jender yang menjadi sebab peristiwa pidana itu terjadi.
Menanggapi persoalan ini, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, ada beberapa hal yang nantinya menjadi pertimbangan Komisi III, antara lain terkait fakta yang terungkap dalam persidangan dan pasal yang didakwakan kepada Nuril.
”Nanti, dalam pembahasan, kami harus buka lagi risalah persidangan ketika undang-undang itu dibahas,” ujarnya.
Selain itu, Arsul menjelaskan, DPR juga akan mempertimbangkan putusan dari sejumlah lembaga peradilan, mulai dari pengadilan negeri hingga tingkat MA. Suara-suara yang menyerukan keadilan bagi Nuril dari masyarakat juga akan menjadi pertimbangan DPR.