Dukungan orangtua terhadap tumbuh kembang anak tak sekadar mendorong pencapaian nilai akademik yang baik. Dibutuhkan struktur, rutinitas, disiplin positif, dan kesepakatan untuk membentuk sistem keluarga yang mendukung anak.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dukungan orangtua terhadap proses tumbuh kembang anak tak sekadar mendorong pencapaian nilai akademik yang baik. Sebab, potensi anak tidak bisa dicapai begitu saja. Dibutuhkan struktur, rutinitas, disiplin positif, dan kesepakatan bersama untuk membentuk sistem keluarga yang mendukung anak.
Hal tersebut terungkap dalam kelas orangtua bagi para anggota Dharma Wanita Persatuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Selasa (16/7/2019). Tema pelatihan kali ini adalah ”Menjadi Orangtua Hebat: Kiat Sukses Mendukung Anak dalam Pendidikan”. Adapun narasumbernya adalah pakar pendidikan Najeela Shihab dan dokter spesialis penanganan korban penyalahgunaan narkoba Aisah Dahlan.
Dalam diskusi itu, para orangtua dibagi menjadi beberapa kelompok. Mereka membuat peta permasalahan tumbuh kembang anak yang dihadapi di rumah. Terdapat beberapa masalah pokok yang dialami mayoritas orangtua.
Pertama, orangtua mengherani harapan mereka tidak tercapai pada diri anak.
Sebagai contoh, orangtua menginginkan agar anak bersih dan rapi, tetapi kenyataannya sebaliknya. Contoh lain ialah orangtua kesal bakat dan kompetensinya tak menurun kepada anak, seperti orangtua pandai matematika, tetapi anaknya justru selalu mendapat nilai matematika rendah.
Kedua, ayah dan ibu bekerja cenderung merasa bersalah tidak menghabiskan banyak waktu dengan anak. Akibatnya, mereka memberi keleluasaan bagi anak berbuat sesuka hati dan memberi hadiah lebih bagi anak. Meski tahu memanjakan anak berdampak buruk, orangtua menilai itu sepadan dengan waktu yang mereka habiskan mencari nafkah.
Bukan fotokopi
Najeela menuturkan, sikap alami orangtua adalah menganggap anak sebagai fotokopi dirinya. Harapannya adalah anak tumbuh kembang seperti halnya orangtua tumbuh kembang dulu, bahkan memiliki perilaku dan minat sama.
”Kita sering lupa bahwa anak adalah manusia dengan pengalaman hidup, pikiran, dan perasaan sendiri. Mereka dilahirkan dengan sifat bawaan berbeda dengan orangtua dan tumbuh di zaman yang jauh lebih rumit serta ambigu dibandingkan dengan kita 30-40 tahun lalu,” paparnya.
Kita sering lupa bahwa anak adalah manusia dengan pengalaman hidup, pikiran, dan perasaan sendiri.
Tantangan pertama orangtua ialah melihat sifat bawaan anak, antara lain pemarah, pencemas, sensitif, ramah, dan cuek. Dengan mengenali sifat bawaan ini, orangtua bisa menentukan cara berkomunikasi dengan anak.
Pada saat yang sama, orangtua hendaknya menerima kekurangan anak akibat sifat bawaan ini dan mengajari anak cara mengelola sisi negatif tersebut agar bisa lebih baik. Anak akan terus tumbuh dan mereka perlahan menambah kecakapan emosi dan pikirannya. Dipastikan setiap tahap ini akan penuh dengan tantangan. Anak balita, misalnya, dipastikan usil dan energik, sementara remaja sudah pasti membangkang omongan orangtua.
”Orangtua kerap menjadi pihak yang menghadapi berbagai tantangan secara emosional sehingga bereaksi dengan membentak anak atau memarahinya dengan kalimat seperti ’Kenapa kamu tidak bisa dinasihati?’ atau malah membandingkan anak dengan orang lain,” tutur Najeela.
Disiplin positif
Najeela mengatakan, langkah berikutnya setelah mengenali sifat bawaan anak adalah memantau perkembangan minat dan bakat mereka. Di usia belia, minat dan bakat bisa berubah sewaktu-waktu. Oleh sebab itu, target capaian anak harus realistis dan menyesuaikan dengan kemampuan anak saat itu.
Setelah itu, terapkan disiplin positif berupa penyusunan komitmen bersama hasil musyawarah keluarga. Aturan tersebut adalah hal atau nilai penting yang disepakati orangtua dan anak serta bisa dijelaskan oleh anak dengan gamblang dalam bahasanya sendiri.
Aturan itu ditulis dan ditempelkan di tempat yang mudah dilihat anak. Setiap anggota keluarga yang melanggar berkomitmen menjalankan sanksi yang disepakati. Disiplin positif berarti memberi sanksi yang mendidik, tidak memalukan ataupun menyakiti secara fisik dan verbal.
”Salah satu penyebab anak sukar diatur adalah minim pembiasaan. Misalnya, orangtua menyuruh anak membereskan mainan, tetapi lupa menyediakan rak penyimpanan dan tidak dibiasakan sejak anak masih kecil,” katanya.
Selain itu, bangun komunikasi yang terbuka dan informatif dengan guru. Jangan sampai guru dan orangtua saling berprasangka buruk.
Bermain
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar mengingatkan orangtua tentang pentingnya bermain bagi anak. ”Bermain bukan selingan belajar, melainkan proses belajar. Lewat bermain, anak belajar tentang strategi, kegagalan, menjalankan aturan, kerja sama tim, dan empati. Jangan pernah kurangi waktu main dalam masa tumbuh kembang anak,” ucapnya.
Ada berbagai aspek dalam kecerdasan, seperti motorik, linguistik, musikal, spasial, interpersonal, dan naturalistik di luar kecerdasan akademik. Proses belajar adalah menemukan dan mengembangkan potensi anak, bukan mengejar nilai rapor. Kecakapan manusia tidak cuma dari nilai pelajaran, tetapi juga dari kerja keras, kejujuran, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi.
Sementara Penasihat Dharma Wanita Persatuan Kemdikbud Suryan Widati Muhadjir Effendy mengatakan, para anggota Dharma Wanita merupakan duta yang menyosialisasikan hasil pemelajaran tersebut kepada masyarakat.