Relasi Amerika Serikat dengan Taiwan kembali memicu kemarahan China. Washington dikecam karena akan menjual senjata ke Taipei.
Penjualan senjata atau peralatan militer Amerika Serikat (AS) kepada Taiwan bukan sesuatu yang baru. Hal itu dilakukan sejak lama. Pada 1979, saat AS mengalihkan pengakuan eksistensi Satu China kepada Beijing, dibuat undang-undang (United States-Taiwan Relations Act) yang mengamanatkan Washington untuk menjamin kemampuan pertahanan Taiwan. Jadi, meski AS tak lagi memiliki hubungan resmi dengan Taiwan, tetap ada ”kewajiban” bagi pemerintah negara itu untuk membantu Taiwan dalam hal militer.
Tentu saja China mengecam tindakan AS karena kebijakan menjual senjata ke Taiwan dinilai merupakan pelanggaran kedaulatan. Bagi Beijing, dan diakui sebagian besar negara di dunia, Taiwan adalah bagian dari China. Oleh karena itu, dapat dipahami respons keras yang diberikan oleh Pemerintah China setiap kali penjualan senjata ke Taiwan terjadi.
Seperti dimuat di harian ini, Selasa (16/7/2019), Kementerian Luar Negeri China menyatakan, pemerintah negara tersebut dan perusahaan asal China akan memutus hubungan bisnis dengan perusahaan AS yang terlibat dalam penjualan senjata ke Taiwan. Ancaman dikeluarkan setelah muncul informasi bahwa Departemen Pertahanan AS menyetujui proposal pembelian senjata yang diajukan Taiwan. Persetujuan meliputi pembelian 108 tank M1A2T Abrams dan 250 rudal antipesawat Stinger senilai lebih dari 2,2 miliar dollar AS (Rp 30,7 triliun). Kedua senjata masing-masing diproduksi oleh perusahaan AS, General Dynamics dan Raytheon.
Meskipun perusahaan AS tak diizinkan menjual senjata ke China sejak peristiwa Tiananmen tahun 1989, mereka tetap boleh bertransaksi di bidang nonmiliter. Seperti ditulis The New York Times, General Dynamics, misalnya, selain membuat kendaraan tempur dan kapal selam, juga menghasilkan jet pribadi yang diincar kaum superkaya China. Perusahaan itu tak memberikan angka penjualan di China, tetapi menyatakan memperoleh pemasukan 2,3 miliar dollar AS dari Asia-Pasifik pada tahun lalu. Adapun Raytheon mengatakan tidak menjual produk di China, tetapi sedang berusaha bergabung dengan perusahaan AS, United Technologies, yang menjual, antara lain, mesin pesawat terbang di China.
Ancaman pemutusan hubungan bisnis bukan baru kali ini dilakukan. Menurut Reuters, China mengumumkan hal seperti itu setidaknya dua kali sebelum ini, pada 2010 dan 2015, tetapi tak jelas apakah sanksi itu betul-betul diterapkan.
Namun, berbeda dengan dahulu, kecaman Beijing kali ini diberikan di tengah perang dagang AS-China, yang dilihat sejumlah kalangan sebagai perebutan dominasi di antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tersebut. Saat masyarakat internasional menunggu negosiasi AS-China untuk mengakhiri perang dagang, isu Taiwan diharapkan tidak menambah rumit upaya penyelesaiannya.