Petani di Lumbung Padi Jawa Barat Merugi, Produksi Padi Terancam
Seluas 1.518 hektar sawah yang gagal panen akibat kekeringan di Kabupaten Kuningan dan Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya merugikan petani, tetapi juga membuat produksi padi terancam berkurang. Kondisi ini bisa lebih buruk karena kemarau masih berlangsung hingga Oktober dan volume air sejumlah waduk menurun.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Seluas 1.518 hektar sawah yang gagal panen akibat kekeringan di Kabupaten Kuningan dan Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya merugikan petani, tetapi juga membuat produksi padi terancam berkurang. Kondisi ini bisa lebih buruk karena kemarau masih berlangsung hingga Oktober dan volume sejumlah waduk menurun.
Hingga pertengahan Juli 2019, areal sawah yang puso terdiri dari 837 hektar di Kuningan dan 681 hektar di Cirebon. Tanaman padi yang gagal panen umumnya berumur setengah bulan hingga 2,5 bulan. Bulir padi coklat dan kosong, sementara tanahnya retak-retak, bahkan terbelah. Saluran irigasi pun mengering.
”Ini kekeringan terparah setelah 2002. Saya rugi total,” ujar Ero Sumarto (48), petani di Desa Kamarang, Kecamatan Greged, Cirebon, Rabu (17/7/2019). Lahannya seluas 1 hektar sama sekali tidak membuahkan hasil.
Padinya yang berusia 2 bulan mati karena tidak mendapatkan pasokan air. Saluran irigasi teknis di sekitar sawahnya mengering. Sumber air dari Cibuntu, Kuningan, sekitar 7 kilometer dari sawahnya, tak lagi mengalirkan air.
Modal tanamnya sekitar Rp 10 juta, mulai dari untuk pengolahan lahan, upah kerja, hingga membeli pestisida sekitar Rp 2 juta, habis sia-sia. Padahal, uang itu berasal dari hasil panen musim rendeng (Oktober-Maret). Dalam kondisi normal, lahannya dapat memproduksi 4 ton gabah kering giling (GKG).
”Petani sebenarnya mengharapkan keuntungan saat musim tanam gadu seperti sekarang. Namun, bagaimana lagi, tidak ada air,” ujarnya.
Manis (54), petani lainnya, terpaksa memanen lebih awal padinya karena kekeringan. Ia menyelamatkan bulir padi yang masih berisi. Namun, lahannya seluas 3.500 meter persegi itu hanya menghasilkan sekitar 10 kilogram GKG.
”Padahal, biasanya, dapat 1 ton lebih GKG. Saya rugi Rp 4 juta,” ucapnya.
Dari 681 hektar sawah puso di Cirebon, sekitar 250 hektar berada di Kecamatan Greged, bagian selatan Cirebon. Dengan produksi rata-rata 6 ton GKG per hektar, Cirebon sudah kehilangan 4.086 ton GKG. Padahal, Cirebon yang memiliki luas sawah 45.000 hektar mampu memproduksi hingga 600.000 ton GKG per tahun.
Menurut Kepala Seksi Serealia Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Iwan Mulyawan, areal puso berpotensi meluas karena saat ini masih ada 253 hektar sawah dalam kategori kekeringan berat atau terancam gagal panen.
”Kami sudah berupaya memberikan mesin pompa ke daerah kekeringan. Namun, di bagian selatan sulit tertolong karena airnya tidak ada. Sementara Kuningan yang menjadi sumber air juga sedang kekeringan,” tuturnya.
Di Kuningan, sawah puso tercatat seluas 837 hektar. Dengan asumsi produktivitas sekitar 6 ton per hektar, produksi padi Kuningan berkurang 5.022 ton GKG. Padahal, dalam setahun, Kuningan mampu menghasilkan sekitar 400.000 ton GKG.
”Ini puso terbesar dalam lima tahun terakhir. Kami sudah mengimbau petani menanam palawija yang tidak butuh banyak air. Namun, petani masih menanam karena bulan April ada hujan. Eh, ternyata kemarau datang lebih cepat di bulan Mei,” ujar Pelaksana Tugas Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kuningan Sahibul.
Ini puso terbesar dalam lima tahun terakhir. Kami sudah mengimbau petani menanam palawija yang tidak butuh banyak air. Namun, petani masih menanam karena bulan April ada hujan.
Sahibul mengatakan, gagal panen terancam meluas karena masih ada 516 hektar sawah yang kekeringan kategori berat. Untuk itu, pihaknya telah menggilir air untuk menyelamatkan sawah yang terancam puso. Pihaknya juga menyiapkan mesin pompa air bagi petani.
Di sisi lain, volume air Waduk Darma di Kuningan yang menjadi sumber utama pengairan sawah petani terus menurun. Saat ini, volume waduk berkisar 31,5 juta meter kubik. Padahal, dalam kondisi normal, volumenya mencapai 36,5 juta meter kubik.
Waduk yang menyimpan air dari Sungai Cisanggarung itu mengairi 19.684 hektar sawah di Kuningan dan 13.284 hektar di Cirebon. Waduk tersebut juga memasok air untuk perusahaan daerah air minum setempat sebanyak 60 liter per detik.
”Meskipun volumenya menurun, kami tetap mengalirkan debit air 2,5 meter kubik per detik ke 22.060 hektar sawah irigasi hingga Oktober sampai kemarau selesai,” ujar Dodo Wardoyo, Koordinator Operasional Waduk Darma Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Volume Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang juga terus menurun. Saat ini, volume air Jatigede berkisar 505 juta meter kubik. Padahal, akhir Juni lalu, volume air Jatigede mencapai 529 juta meter kubik atau 60 persen dari volume total waduk.
Jatigede memasok air untuk 87.803 hektar sawah di Majalengka, Indramayu, dan Cirebon melalui Bendung Rentang. Air lalu melewati dua saluran induk (SI), yakni SI Cipelang dan SI Sindupraja. Saat ini, Jatigede mengalirkan debit air 70 meter kubik per detik.
Setelah Agustus, debit air Jatigede turun menjadi 20 meter kubik per detik. Kalau dipaksakan menyalurkan 70 meter kubik per detik, elevasi waduk akan di bawah batas minimal, yakni 230 meter di atas permukaan laut.
”Namun, setelah Agustus, debit air Jatigede turun menjadi 20 meter kubik per detik. Kalau dipaksakan menyalurkan 70 meter kubik per detik, elevasi waduk akan di bawah batas minimal, yakni 230 meter di atas permukaan laut,” ujar Kepala Bidang Operasi Pengelolaan Sumber Daya Air BBWS Cimanuk-Cisanggarung Kementerian PUPR Harya Muldianto.